Senin, 26 Juli 2010

Chapter 1

“Emily, bisakah kau berjalan sedikit lebih cepat daripada seekor siput?” Seorang pemuda berhem putih menepuk pundakku, membuatku sedikit terhentak. “Ayolah!”

“Kak Edward.” Aku menatap kakakku itu dengan sorot mata kesal. “Dan untukmu, bisakah kau tidak terlalu melebih-lebihkan?”

“Sebaiknya kau lihat dirimu sendiri sebelum berkata begitu.” Ia tertawa—setengah geli, setengah jengkel. “Sudah berapa banyak orang yang hampir kau tabrak sejak masuk bandara ini? Dan, yang paling parah—sudah berapa kali kopermu sendiri hampir terlepas dari tanganmu?”

Kali ini aku mendesah. Benar juga. Pagi ini aku sempat melihat bayanganku di cermin sesaat sebelum mama meneriakiku untuk bergegas. Sebuah pemandangan yang cukup mengerikan, dengan kantung mata menghitam dan wajah pucat—khas orang tidak tidur semalaman.

“Yeah!” Kak Edward tiba-tiba berteriak, kemudian bersiul. “Kau bahkan kembali melamun lagi, entah untuk keberapa kalinya.

“Terserah,” ujarku letih. Sekarang aku tidak lagi membantah karena aku tahu Kak Edward benar. Aku tidak akan jadi begini, kecuali... Kecuali... Ya, sudahlah.

“Ehm.” Dalam sekejap kakakku itu sudah berdiri tepat di sampingku, kemudian berdeham. “Kau... Ehm, bermimpi lagi?”

Aku memutar bola mataku. “Ya. Kenapa? Bukankah itu wajar?”

“Hei, biarkan aku selesai bertanya.” Ia tersenyum tipis. “Dan apakah mimpi itu mimpi yang sama?”

Mulutku terkunci untuk beberapa saat. Rasanya tubuhku mengejang seketika. “Oh, seharusnya aku tahu kalau aku tak akan bisa bersikap biasa-biasa saja padamu.” Aku menarik nafas panjang. “Ya, ya. Kau benar.”

“Emily...” Kali ini giliran Kak Edward yang mendesah. Ia menatapku letih. “Bukankah sudah kukatakan kepadamu berulang kali? Kau tidak bisa hanya terpaku pada masa lalumu saja! Ayolah, jangan bersikap seolah-olah hanya ada satu lelaki saja yang tersisa di muka bumi ini.”

“Yah, terserah kau saja.” Aku mengerucutkan bibirku, menatapnya setengah kesan dan setengah terharu karena rupanya ia peduli. “Perasaan laki-laki dan perempuan memang tidak sama. Kau tak akan mengerti.”

Well, mungkin kau memang benar.” Ia berhenti melangkah, menatap langsung ke kedua bola mataku. “Tapi ada satu hal yang kutahu, rasanya tidak akan enak ketika kau menunggu hal yang tidak pasti. Dan telah hilang.”

“Hei!” Aku balas menatap matanya. “Dia tidak hi—“

“Astaga, kalian ini.” Tiba-tiba suara seseorang memotong kalimatku. Mama. “Emily, Edward, ada baiknya kalian berjalan lebih cepat, atau taruhannya, kita akan ketinggalan pesawat pagi ini.”

Kuraih tangan Kak Edward untuk melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Pukul 07.03. Benar kata mama, kita bisa terlambat. Bahkan, papa sendiri sudah berjalan agak jauh dari tempatku dan Kak Edward berdiri. Kami harus segera bergegas.

“Emily...”

“Sudahlah, Edward.” Mama mulai menatap Kak Edward kesal. “Cepatlah. Kau bisa berbincang dengan adikmu setelah kita menyelesaikan semuanya.”

Kak Edward langsung mengunci mulutnya. Bisa kulihat sebelah matanya melirikku kesal.

Aku balas meliriknya, memberikan senyum kemenangan. “Ssstt,” ujarku pelan sambil meliriknya tajam. Sesaat kemudian aku nyengir.

Oh, kali ini aku cukup beruntung. Kak Edward tidak perlu membahasnya lebih lanjut.

***

TO BE CONTINUED.


p.s: could you guys pls help me to find a good title for this novel? :D

0 komentar: