Kamis, 28 April 2011

28.04.11

Tanggal 14 September 2010, seharusnya aku tengah menulis untaian kata di blog ini, bercerita akan lembaran hari-hariku di Singapore bersama keluarga saat liburan. Tapi, rencana yang sejatinya telah kususun beberapa hari sebelumnya itu pupuslah sudah oleh kedatangan sebuah "paket spesial". Pengembalian Setetes Embun Malam dengan cap gagal, yang tentu saja membuatku beralih topik dan menulis tentangnya.

Hari ini, tepat tanggal 28 April 2011, seperti dejavu - membawaku terbang dengan mesin waktu merasakan kembali kejadian di masa lalu, namun dengan cara dan situasi yang berbeda. Detik ini, seharusnya aku tengah menulis bagaimana masa perangku dengan Monster Unas sudah usai. Namun, kenyataan yang agaknya penuh pilu membuatku (sekali lagi) berganti topik dan menulis tentangnya...

***



Ukiran Sejarah

Mélodie d'Amour

1. Penjilidan: 09.12.10 - 12:01
2. Pengiriman ke kantor pos: 10.12.10 - 12:51
3. Peneleponan ke Penerbit GagasMedia (#1): 14.03.11 - 15.03
4. Peneleponan ke Penerbit GagasMedia (#2): 06.04.11 - 14:05

Hari ini, tepat tanggal 28 April 2011, ukiran sejarah itu harus menorehkan sebaris kalimat baru...


.
5.
Ditolak: 28.04.11 - 14:39

***

Seperti ritual biasa, hari ini kami berlima - aku, Abbey, Angel, Clara dan Fanie - pergi merayakan kebebasan kami dari jerat Monster Ujian, kali ini UNAS. Dan seperti biasa juga, destinasi kami tak lain dan tak bukan adalah Supermall.

Aku ingat sekali. Diawali dengan duduk di salah satu rumah makan dalam mall itu, Fanie yang duduk di sebelahku tiba-tiba menyeletuk, "Gimana kabar novelmu, Jess?" Dan saat itu, aku cuma berkata ringan kalau sama sekali belum ada kabar dari GagasMedia.

Lalu, di Trimedia beberapa saat kemudian. Aku dan Abbey langsung menuju ke pojok kanan ruangan, tempat novel-novel karya anak bangsa maupun luar negeri diletakkan. Sambil menggenggam novel baru Remember When karya Winna Efendi, Abbey tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan untukku, "Kamu pernah nggak, Jess, bayangin kalau novelmu akan terpajang di antara novel-novel ini? Terus, kamu udah kebayang belum, pengen cover yang gimana?"

"Udah sering." Aku menjawab cepat, sambil tertawa kecil. "Cover? Aku belum mikir sampai sejauh itu. Tapi melihat sebuah novel dengan namaku tercetak di atasnya saja sudah lebih dari cukup, karena itu artinya impianku telah tercapai."

*FAST FORWARD*

Tak begitu lama dari percakapan-percakapan yang rasanya simpel itu, sebenarnya. Usai karaoke, kami berlima langsung ke toko DVD. Mereka berempat yang maniak film berkeliling sana-sini, membuatku tampak seperti alien yang tersesat di Planet Bumi.

Sampai tiba-tiba... Aku merasakan ponselku bergetar. Suara Chipmunk yang kupasang sebagai ringtone berteriak nyaring minta diangkat. Kuraih benda kotak itu dari kantong, terkesiap membaca nama penelepon dan buru-buru keluar dari ruangan itu. Penelepon itu...

GagasMedia.

"Kalau ditolak, naskahmu akan langsung dikembalikan. Tapi kalau diterima, kamu akan menerima e-mail atau telepon dari kami." Kata-kata dari GagasMedia itu dalam sekejap terngiang di telinga, membuatku menekan tombol answer dengan keoptimisan yang membuncah.

***

Kenyataan tak selalu sama dengan imajinasi yang menari dalam kepalamu. Satu kalimat itu kurasa bisa menggambarkan segalanya dengan cukup baik.

Langsung saja. Sejatinya, bukan kabar baik yang kudengar. Penerbit itu hanya menelepon untuk menanyakan alamatku yang lebih jelas, karena naskah Mélodie d'Amour-ku akan segera dikembalikan.

Dengan kata lain... Naskahku ditolak.

Jika kubilang rasanya seperti guntur yang menyambar di telinga, sebenarnya tak begitu berlebihan. Nyatanya memang terdengar seperti itu. Abbey berdiri di sampingku dengan senyum lebar, tapi aku hanya menggeleng tanpa kata.

Seusai sambungan telepon itu putus, aku cuma mengeluarkan satu kata: "Ditolak."

Angel, Clara, dan Fanie setengah berlari menghampiriku kala itu. Mereka yang sepertinya juga kehabisan kata - tak berbeda jauh denganku - hanya mengucapkan namaku berulangkali: "Jess..."

Air mataku luruh. Setetes, dua tetes, tiga tetes... Tak dapat berhenti.

***

Aku tidak akan berpura-pura tegar. Penantian akan kabar Mélodie d'Amour selama lebih dari empat bulan yang berakhir seperti ini bisa dibilang terasa cukup menyakitkan.

Tapi aku tahu, persis seperti kata sahabat-sahabatku itu, aku harus segera menghapus air mataku dan terus melanjutkan perjalanan menyongsong impian itu. Jangan pernah menyerah, jangan pernah menyerah, kata mereka berulang kali.

Bahkan waktu Abbey menawarkan tissuenya untukku, Fanie bilang, "Udah Jess, hapus tuh air matanya. Tapi minta tissuenya sekali aja ya, nggak boleh lebih. Soalnya kamu nggak boleh nangis lagi."

Mungkin terkesan hiperbola, tapi seusai mendengar kata-katanya itu, rasanya air mata ini hendak menetes lagi. Kali ini, air mata haru...

Ya. Mereka berlima - baik Abbey, Angel, Clara, maupun Fanie - benar.

Aku tak boleh melepaskan impianku begitu saja. Yah, meski mimpi untuk menerbitkan buku sebelum lulus SMP memang sudah pupus, tapi aku masih punya segudang impian lain yang menunggu untuk bertransformasi menjadi kenyataan.

Mungkin saja SMP bukan waktu yang tepat, tapi hal yang lebih baik lagi sudah menungguku di ujung sana. Di SMA mungkin? - sekali lagi, kata-kata dari mereka berlima yang entah keberapa kalinya mulai menjahit kembali sayapku yang telah koyak sebelumnya.

Aku jadi teringat akan kata-kata seorang guruku, Mr. Wira, di salah satu sesi Pelajaran Karakter. Mimpi itu baru benar-benar disebut impian ketika kamu memperjuangkannya hingga titik darah terakhir. Seperti Martin Luther, misalnya.

Aku juga ingat akan ucapanku tentang impian di berjibun postingan-postingan sebelumnya. Seperti postingan tepat sebelum ini misalnya. "Namun satu hal yang kutahu, apapun yang terjadi, takkan kubiarkan api ini redup, apalagi lenyap terbawa angin.." Dan aku, tentu saja tak ingin kata-kata itu hanyalah menjadi omong kosong belaka.

Satu lagi.. Yah, penantian lebih dari empat bulan yang berakhir gagal ini barangkali menurut orang adalah penantian yang sia-sia. Tapi bagiku, perjalanan ini benar-benar berarti, mengajarkanku banyak hal yang tak terhitung harganya.

Bagaimanapun, aku bukan seorang Superwoman yang punya hati sekuat baja. Terhempas dalam meraih impian tentu saja akan membekaskan segores kesedihan. Aku dan kamu tentu saja sama-sama pernah merasakannya, kan?

Tapi aku cuma ingin mengatakan satu hal. Seperti kata-kata sahabat-sahabatku, kesuksesan itu butuh proses jatuh-bangun. Berhasil tanpa pernah terjatuh? Terdengar janggal, karena sejatinya tak ada kesuksesan yang tak diawali dengan kegagalan. Karena dari kegagalan itulah kita belajar, iya kan?

Percayalah, kalau impianmu akan menjadi kenyataan. :) Aku pun akan melakukan hal yang sama. Dan suatu hari nanti, kita akan sama-sama bertemu di ujung sana, dengan impian di genggaman yang telah menjelma menjadi kenyataan.

Dreams come true...

"If at first you don't succeed, try, try, try again. Success is achieved through an iterative process of learning from mistakes."

***

Setelah mengucurkan air mata beberapa saat, mereka membuatku berhasil tersenyum lepas dan menggelikan seperti ini:


Hebat, ya?
Memang.

P.S: Kurasa hampir mustahil bagimu jika ingin mendapatkan sahabat terbaik, karena yang terbaik telah menjadi milikku. ;) hahaha.

Senin, 25 April 2011

Thrice

Postingan untuk:
24.04.11

Semalam aku kembali bermimpi kalau naskahku, Mélodie d'Amour, ditolak. Bunga tidur itu entah mengapa terasa nyata, terlebih karena mimpi itu telah datang untuk ketiga kalinya dalam tidurku...

Tapi, semua itu takkan menyurutkan impianku. Tanpa bongkahan-bongkahan mimpi ini, apalah jadinya hidupku? Akankah ia mempunyai arti lagi?

Aku sadar. Keluarga dan sahabat-sahabatku, merekalah orang-orang tiada duanya yang mengajariku banyak hal dalam impian ini. Untuk tak letih percaya pada untaian doa yang kupanjatkan, untuk tak pernah menyerah, untuk mengejar mimpi itu sampai kapan pun.

Aku memang tak tahu, apakah akhir bulan ini Mélodie d'Amour akan kembali dengan cap gagal, maupun menjelma menjadi e-mail yang barangkali akan mengubah hidupku sepenuhnya.

Namun satu hal yang kutahu, apapun yang terjadi, takkan kubiarkan api ini redup, apalagi lenyap terbawa angin.. Karena seperti kata sahabatku, Angel, bermimpi itu bukan tentang sejak kapan, tapi sampai kapan.

Selasa, 19 April 2011

Metamorphosis

And here is the new look ;)
Whataya think?

P.S: Gonna change the header and url soon.

Minggu Tenang

Waktu nggak berjalan, tapi terbang.

Yah, satu kalimat itu sudah bisa menjabarkan segalanya, kan? Bagaimanapun, busur waktu berputar secepat cahaya tanpa mampu dihentikan. Monster Unas tengah menjajah murid SMA, dan untuk SMP? Tinggal menunggu hari, 25 April 2011.

Seperti yang kukatakan tadi, kita nggak pernah mampu melakukan apapun untuk menghentikan waktu. Bahkan hingga matahari terbit dari utara sekalipun, jarum jam hanya akan berputar 24 kali dalam sehari.

Kita memang nggak bisa menghentikan putaran waktu, juga nggak bisa menunda kedatangan Monster Unas. Tapi satu hal yang pasti, kita masih bisa kok, mempersiapkan diri yang sebaik-baiknya buat melawan monster itu.

Seminggu penuh ini, minggu tenang untuk aku dan teman-teman menjelang Unas. Salah satu minggu paling menentukan: apakah nantinya kita akan menaklukkan monster itu, atau justru ia yang menaklukkan kita.

Seperti kata Mr. Hadi kemarin.. Biarlah Kamis depan - tepat tanggal 28 April 2011 jam 10.00 lebih satu detik - kita semua bisa mengucap syukur karena rupanya segala doa yang dipanjatkan dan sekelumit kerja keras yang dicurahkan itu memberi hasil yang layak, yang terbaik.

"Do the best and God will take the rest."

Jumat, 15 April 2011

...

Dreams, oh dreams, will you transform into reality?

Minggu, 10 April 2011

10.04.11

Hari ini tanggal 10 April 2011.
Tepat empat bulan sejak aku mengirimkan Mélodie d'Amour bersama sebongkah impianku.

Tapi satu hal yang pasti, tak ada secarik amplop oranye yang duduk miris di dalam kotak posku, maupun sebuah e-mail yang akan mengubah hidupku selamanya.

Segala penantian ini masih berlanjut..

Senin, 04 April 2011

W = F.S

Meraih impian itu teorinya sama seperti teori usaha dalam rumus fisika.

W (usaha) = F (gaya) x S (jarak)

Ya, meraih impian itu memang perlu usaha.

Namun kadang kala, ketika kita sudah mendorong kemampuan (baca: gaya) kita semaksimal mungkin, kita justru nggak berani bergerak (baca: jarak) selangkah untuk meraih impian itu. Takut gagal lah, takut ini, takut itu. Padahal, gaya itu nggak ada artinya kalau jaraknya tetap dalam posisi nol.

Seperti aku dulu, misalnya. Menulis siang-malam demi merampungkan sebuah novel, tapi ketika novel itu sudah jadi.. Malah nggak berani mengirimkannya ke penerbit.

Aku sudah menapakkan kaki selangkah, mengirimkan novel itu hampir empat bulan silam demi meraih impianku. Apakah langkah itu benar-benar memberi jarak? Tentu.

Tapi hari ini, pertanyaannya sudah berbeda: apakah usaha yang dihasilkan benar-benar sudah cukup untuk meraih impian?

Kita akan lihat nanti. Belum ada yang tahu, bahkan sampai detik ini.

Lantas, gimana kalau usaha itu benar-benar belum cukup?

Cuma ada dua pilihan: kembali mencurahkan dari awal gaya dan jarak itu untuk menghasilkan usaha yang cukup, atau membiarkan keduanya tetap dalam posisi nol hingga akhir hayat.

Well, semua orang punya cerita masing-masing dalam dunia impiannya. Bagaimana denganmu? Apa yang akan kau pilih? :)

P.S: Terima kasih untuk Angel - penggagas ide ini sekaligus pengisi baterai semangatku.