
Ukiran Sejarah
Mélodie d'Amour
1. Penjilidan: 09.12.10 - 12:01
2. Pengiriman ke kantor pos: 10.12.10 - 12:51
3. Peneleponan ke Penerbit GagasMedia (#1): 14.03.11 - 15.03
4. Peneleponan ke Penerbit GagasMedia (#2): 06.04.11 - 14:05

.
5. Ditolak: 28.04.11 - 14:39
***
Aku ingat sekali. Diawali dengan duduk di salah satu rumah makan dalam mall itu, Fanie yang duduk di sebelahku tiba-tiba menyeletuk, "Gimana kabar novelmu, Jess?" Dan saat itu, aku cuma berkata ringan kalau sama sekali belum ada kabar dari GagasMedia.
Lalu, di Trimedia beberapa saat kemudian. Aku dan Abbey langsung menuju ke pojok kanan ruangan, tempat novel-novel karya anak bangsa maupun luar negeri diletakkan. Sambil menggenggam novel baru Remember When karya Winna Efendi, Abbey tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan untukku, "Kamu pernah nggak, Jess, bayangin kalau novelmu akan terpajang di antara novel-novel ini? Terus, kamu udah kebayang belum, pengen cover yang gimana?"
"Udah sering." Aku menjawab cepat, sambil tertawa kecil. "Cover? Aku belum mikir sampai sejauh itu. Tapi melihat sebuah novel dengan namaku tercetak di atasnya saja sudah lebih dari cukup, karena itu artinya impianku telah tercapai."
Sampai tiba-tiba... Aku merasakan ponselku bergetar. Suara Chipmunk yang kupasang sebagai ringtone berteriak nyaring minta diangkat. Kuraih benda kotak itu dari kantong, terkesiap membaca nama penelepon dan buru-buru keluar dari ruangan itu. Penelepon itu...
***
Langsung saja. Sejatinya, bukan kabar baik yang kudengar. Penerbit itu hanya menelepon untuk menanyakan alamatku yang lebih jelas, karena naskah Mélodie d'Amour-ku akan segera dikembalikan.
Dengan kata lain... Naskahku ditolak.
Jika kubilang rasanya seperti guntur yang menyambar di telinga, sebenarnya tak begitu berlebihan. Nyatanya memang terdengar seperti itu. Abbey berdiri di sampingku dengan senyum lebar, tapi aku hanya menggeleng tanpa kata.
Seusai sambungan telepon itu putus, aku cuma mengeluarkan satu kata: "Ditolak."
Angel, Clara, dan Fanie setengah berlari menghampiriku kala itu. Mereka yang sepertinya juga kehabisan kata - tak berbeda jauh denganku - hanya mengucapkan namaku berulangkali: "Jess..."
Air mataku luruh. Setetes, dua tetes, tiga tetes... Tak dapat berhenti.
Tapi aku tahu, persis seperti kata sahabat-sahabatku itu, aku harus segera menghapus air mataku dan terus melanjutkan perjalanan menyongsong impian itu. Jangan pernah menyerah, jangan pernah menyerah, kata mereka berulang kali.
Bahkan waktu Abbey menawarkan tissuenya untukku, Fanie bilang, "Udah Jess, hapus tuh air matanya. Tapi minta tissuenya sekali aja ya, nggak boleh lebih. Soalnya kamu nggak boleh nangis lagi."
Mungkin terkesan hiperbola, tapi seusai mendengar kata-katanya itu, rasanya air mata ini hendak menetes lagi. Kali ini, air mata haru...
Ya. Mereka berlima - baik Abbey, Angel, Clara, maupun Fanie - benar.
Aku tak boleh melepaskan impianku begitu saja. Yah, meski mimpi untuk menerbitkan buku sebelum lulus SMP memang sudah pupus, tapi aku masih punya segudang impian lain yang menunggu untuk bertransformasi menjadi kenyataan.
Mungkin saja SMP bukan waktu yang tepat, tapi hal yang lebih baik lagi sudah menungguku di ujung sana. Di SMA mungkin? - sekali lagi, kata-kata dari mereka berlima yang entah keberapa kalinya mulai menjahit kembali sayapku yang telah koyak sebelumnya.
Aku jadi teringat akan kata-kata seorang guruku, Mr. Wira, di salah satu sesi Pelajaran Karakter. Mimpi itu baru benar-benar disebut impian ketika kamu memperjuangkannya hingga titik darah terakhir. Seperti Martin Luther, misalnya.
Aku juga ingat akan ucapanku tentang impian di berjibun postingan-postingan sebelumnya. Seperti postingan tepat sebelum ini misalnya. "Namun satu hal yang kutahu, apapun yang terjadi, takkan kubiarkan api ini redup, apalagi lenyap terbawa angin.." Dan aku, tentu saja tak ingin kata-kata itu hanyalah menjadi omong kosong belaka.
Satu lagi.. Yah, penantian lebih dari empat bulan yang berakhir gagal ini barangkali menurut orang adalah penantian yang sia-sia. Tapi bagiku, perjalanan ini benar-benar berarti, mengajarkanku banyak hal yang tak terhitung harganya.
Bagaimanapun, aku bukan seorang Superwoman yang punya hati sekuat baja. Terhempas dalam meraih impian tentu saja akan membekaskan segores kesedihan. Aku dan kamu tentu saja sama-sama pernah merasakannya, kan?
Tapi aku cuma ingin mengatakan satu hal. Seperti kata-kata sahabat-sahabatku, kesuksesan itu butuh proses jatuh-bangun. Berhasil tanpa pernah terjatuh? Terdengar janggal, karena sejatinya tak ada kesuksesan yang tak diawali dengan kegagalan. Karena dari kegagalan itulah kita belajar, iya kan?
Percayalah, kalau impianmu akan menjadi kenyataan. :) Aku pun akan melakukan hal yang sama. Dan suatu hari nanti, kita akan sama-sama bertemu di ujung sana, dengan impian di genggaman yang telah menjelma menjadi kenyataan.
Dreams come true...
