Kalau kalian sedang mengadakan survei untuk mengetahui siapa orang-orang yang sedang berada pada tingkat kegalauan yang ekstrim, barangkali aku akan masuk dalam nominasi Big Five-nya.
Nggak lain lagi, apalagi kalau bukan soal.. Mélodie d'Amour.
Mungkin kalian sudah tahu, kalau 10 Februari lalu adalah hari di mana aku sudah genap mengirimkan Mélodie d'Amour selama dua bulan.
Which is, pemberitahuan apakah salah satu impianku bakal terwujud atau nggak, bakal aku dapat 1 bulan lagi.
Ya, harusnya aku senang.
Tapi nggak, nyatanya aku justru makin gelisah, galau.
Hari ini di sekolah, selagi duduk di samping teman galau saya, Angel, kami berbincang banyak.
Beberapa saat kami diam, dan aku kembali mendapat potongan-potongan memori itu.
Semuanya begitu runtut, bak sebuah rekaman video yang tengah diputar di kepalaku.
Aku jadi teringat, pada Setetes Embun Malam.
Bagaimana syoknya aku waktu itu, ketika naskah itu berbalik padaku laksana bumerang dalam waktu yang sangat-sangat-sangat-sangat singkat.
Bagaimana tidak.
Aku ingat betul, saat itu penerbit yang aku tuju bilang, pemberitahuan seputar naskah akan diberitahukan 5-6 bulan pasca pengiriman novel.
Lah, ini malah kurang dari satu minggu. -_-
Alhasil, waktu itu, aku pun langsung tanya penerbit itu via Facebook.
Dan, bam.
Aku dapat sebuah jawaban yang refleks membuatku menghapus comment itu secepat kilat.
Intinya satu, kasarannya sih, naskah itu terlalu jelek sehingga dikembalikan cepat banget.
Lepas dari itu semua, aku sendiri juga masih bingung, gimana bisa aku bersikap se-"biasa-biasa" itu waktu tahu Setetes Embun Malam gagal.
Mungkin, karena waktu itu aku tahu, aku masih punya waktu yang cukup untuk menggapai impian itu..
Kalau tanya soal impian apa yang paling besar buat sekarang, aku bakal jawab, nerbitin buku sebelum lulus SMP.
Dan the great news is, semua itu cuma tinggal hitungan bulan.
Tolong, jangan salahkan aku kalau aku jadi segalau ini.
Berbagai pertanyaan besar yang mungkin nggak logis muncul di pikiranku secepat kilat, seperti..
Gimana kalau ternyata naskah itu ternyata nggak sampai ke penerbit itu?
Aku bisa mikir seaneh ini, karena well, Setetes Embun Malam saat itu dikembalikan secepat kilat.
Nah, kalau yang Mélodie d'Amour masih belum dikembaliin-dikembaliin juga, apa itu artinya naskah itu nggak se-"terlalu jelek" Setetes Embun Malam, atau justru... Aku nggak bisa mikir lagi.
Oke, lepas dari pikiran nggak logis yang menurutku masih possible itu, aku juga punya banyak pikiran lain yang menghantui.
Kalau seandainya Mélodie d'Amour nggak diterima, it means, nggak akan ada waktu lagi buat impianku yang satu itu.
Secara, bikin novel itu menghabiskan berapa bulan, plus nunggu kabar dari penerbit yang lamanya nggak nanggung-nanggung.
So... Yah, kalian mengerti maksudku.
Mungkin, kalian pikir, aku ini terlalu pesimis.
Dan ya, mungkin memang benar.
Hari ini, aku mengetik post ini bukan untuk bicara panjang-lebar mengenai mimpi.
Hari ini, aku mengetik post ini hanya untuk.. Entahlah.
Seperti yang aku bilang beberapa hari yang lalu, bahwa seringkali satu-satunya hal yang lebih besar dari diri seseorang adalah ketakutannya sendiri.
Tepat seperti yang aku rasakan hari ini.
Tapi bedanya, kali ini aku nggak bisa berbuat apa-apa lagi, selain menunggu, dan mencoba untuk tetap berharap.
Aku memang belum bisa menemukan cara yang tepat untuk menghapus kegalauan ini. :p
Aku boleh saja masih takut, masih gelisah, masih khawatir...
Tapi kuharap, suatu saat nanti aku akan membaca kembali post ini dan tersenyum, seraya berkata, "Semuanya ternyata berakhir baik-baik saja."
Rabu, 16 Februari 2011
Segores Tinta Manusia Galau
Diposting oleh Jesslyn Chandra di 17.21
Label: Life Lesson, nulis.nuliis.nuliiis :pp
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar