Have you watched Rapunzel - Tangled Tale? I did. And I think, all of us are just the same as her, Rapunzel.
Ah ya, seperti yang aku bilang di post sebelumnya.
Benar.
Tentang bagaimana tidak sabarnya aku mengulas film ini, sampai diameter hidungku melebar bak Maximus.
Sekarang, sekarang tiba saatnya. :)
Rapunzel, yang punya impian, tak berbeda dengan setiap kita.
Impian yang sejatinya sederhana saja: melihat lentera-lentara itu yang dikiranya sebagai bintang.
Melihat dari dekat, merasakan cahayanya.
Begitu saja.
Aku tidak bilang semua impian itu pasti yang besar dan menjulang tinggi, karena nyatanya semua impian-impian besar itu selalu bermula dari yang kecil.
Semuanya.
Misalnya, well.
Kita ambil contoh Felix saja, teman seangkatan saya yang, yeah whatever, pintar.
Hahaha.
Mungkin dia tidak ingat lagi apa yang menjadi impian pertamanya.
Tapi, kita ambil contoh saja.
Mungkin yang menjadi impian pertamanya adalah dapat nilai bagus di pelajaran matematika.
Selesai, check.
Kemudian, ya nggak berhenti sampai situ aja.
Dia mulai bermimpi jadi juara kelas, lalu menang olimpiade, lalu jadi lulusan terbaik seangkatan, lalu diterima di universitas favorit, lulus (lagi) dengan nilai maksimal, jadi ilmuwan, menemukan teori A, teori A belum cukup sampai harus tercipta teori B, dan begitu seterusnya, impiannya terus diperbaharui.
Atau kalau mau contoh nyata yang bukan karangan, misalnya aku.
Yeah, contoh yang kurang bombastis .. -__- hahaha.
Impian pertamaku mungkin hanya sebatas menulis novel, supaya bisa ngalahin kakak (remember my old stories?).
Setelah itu, seperti halnya Felix, tentu saja aku nggak akan berhenti sampai situ.
Kala aku sudah berhasil membuat beberapa paragraf saja, aku pun mulai bermimpi untuk menyelesaikan novel, lalu membuat novel lagi, lagi dan lagi, sampai suatu saat terbersit ide untuk serius, lalu mengirim salah satu novel ke penerbit, mencoba lagi setelah gagal, membuat novel baru lagi seperti sekarang, bersiap-siap untuk menerbitkan lagi.
Kalau pun buku itu benar-benar terbit, mungkin, well, aku akan bermimpi untuk jadi penulis yang makin diupgrade, karya makin banyak, dan memberkati orang.
Yeah, mungkin.
Semoga. Hahaha.
Karena begitulah manusia..
Kita memang seharusnya memulai hal-hal besar melalui hal-hal sepele dulu.
Hal-hal sepele yang kita pandang dengan bertanggung jawab. :)
Kembali lagi ke Rapunzel.
Sayang, hal-hal sepele itu bukan berarti punya halangan yang sepele pula.
Tak jarang, masalah-masalah yang kita hadapi malah membuat kita menyerah, padahal ya, masalah itu masalah sepele.
Rapunzel juga punya masalahnya sendiri.
Si mama jadi-jadian yang gimbal itu melarangnya untuk pergi, ingat?
Sampai suatu saat, muncullah si Flynn Rider a.k.a Eugene, dan saat itu pula perjalanan Rapunzel yang sesungguhnya dimulai.
Oh yeah, whatever. -__- ha-ha.
Kalau Rapunzel memang hidup, aku yakin dia pasti nggak semudah itu memutuskan untuk keluar dari rumahnya.
Well, mengingat omongan mamanya yang bilang kalau dunia luar itu berbahaya, yeah blahblahblah.
She must be afraid.
Dan rasa itulah, yang sejatinya juga kita perlukan..
Rasa takut itu sebenarnya juga kita perlukan, tentunya dalam dosis tertentu.
Tanpa rasa takut, mungkin kelak saat mimpi itu tercapai, kita nggak akan pernah mendalami artinya isn't it?
Justru dengan rasa takut itu, kita (seharusnya) makin termotivasi, take a move, dan kala mimpi itu sudah tercapai, kita sadar betul apa yang membuat kita berjalan dari titik nol sampai titik atas - kerja keras.
Rumah Rapunzel - or how should I call it? Tower? - sebenarnya juga punya makna bagi kehidupan kita masing-masing.
Kita ini, secara sadar atau pun tidak, cenderung selalu living inside the box.
Takut untuk mengambil resiko, takut dengan apa yang terjadi, dan yang paling parah, takut untuk keluar - padahal di luar sana impian kita hadir dalam bentuk nyata, tinggal menunggu kita untuk keluar dan menggenggamnya.
Layaknya Rapunzel di film itu, memang nggak ada yang instan di dunia ini.
Semuanya butuh proses.
Sekali gagal, bahkan mungkin beberapa kali gagal.
Proses.
Kita mungkin nggak tahu berapa lama it takes time, tapi bukankah yang namanya proses tetap bergerak, dan suatu saat kita akan tiba? :)
Jika kita tetap mendayung, tak peduli seberapa sering ombak menerjang perahu kita, suatu saat, lentera-lentera itu pasti akan terlihat...

Benar.
Tentang bagaimana tidak sabarnya aku mengulas film ini, sampai diameter hidungku melebar bak Maximus.
Sekarang, sekarang tiba saatnya. :)
Rapunzel, yang punya impian, tak berbeda dengan setiap kita.
Impian yang sejatinya sederhana saja: melihat lentera-lentara itu yang dikiranya sebagai bintang.
Melihat dari dekat, merasakan cahayanya.
Begitu saja.
Aku tidak bilang semua impian itu pasti yang besar dan menjulang tinggi, karena nyatanya semua impian-impian besar itu selalu bermula dari yang kecil.
Semuanya.
Misalnya, well.
Kita ambil contoh Felix saja, teman seangkatan saya yang, yeah whatever, pintar.
Hahaha.
Mungkin dia tidak ingat lagi apa yang menjadi impian pertamanya.
Tapi, kita ambil contoh saja.
Mungkin yang menjadi impian pertamanya adalah dapat nilai bagus di pelajaran matematika.
Selesai, check.
Kemudian, ya nggak berhenti sampai situ aja.
Dia mulai bermimpi jadi juara kelas, lalu menang olimpiade, lalu jadi lulusan terbaik seangkatan, lalu diterima di universitas favorit, lulus (lagi) dengan nilai maksimal, jadi ilmuwan, menemukan teori A, teori A belum cukup sampai harus tercipta teori B, dan begitu seterusnya, impiannya terus diperbaharui.
Atau kalau mau contoh nyata yang bukan karangan, misalnya aku.
Yeah, contoh yang kurang bombastis .. -__- hahaha.
Impian pertamaku mungkin hanya sebatas menulis novel, supaya bisa ngalahin kakak (remember my old stories?).
Setelah itu, seperti halnya Felix, tentu saja aku nggak akan berhenti sampai situ.
Kala aku sudah berhasil membuat beberapa paragraf saja, aku pun mulai bermimpi untuk menyelesaikan novel, lalu membuat novel lagi, lagi dan lagi, sampai suatu saat terbersit ide untuk serius, lalu mengirim salah satu novel ke penerbit, mencoba lagi setelah gagal, membuat novel baru lagi seperti sekarang, bersiap-siap untuk menerbitkan lagi.
Kalau pun buku itu benar-benar terbit, mungkin, well, aku akan bermimpi untuk jadi penulis yang makin diupgrade, karya makin banyak, dan memberkati orang.
Yeah, mungkin.
Semoga. Hahaha.
Karena begitulah manusia..
Kita memang seharusnya memulai hal-hal besar melalui hal-hal sepele dulu.
Hal-hal sepele yang kita pandang dengan bertanggung jawab. :)
Kembali lagi ke Rapunzel.
Sayang, hal-hal sepele itu bukan berarti punya halangan yang sepele pula.
Tak jarang, masalah-masalah yang kita hadapi malah membuat kita menyerah, padahal ya, masalah itu masalah sepele.
Rapunzel juga punya masalahnya sendiri.
Si mama jadi-jadian yang gimbal itu melarangnya untuk pergi, ingat?
Sampai suatu saat, muncullah si Flynn Rider a.k.a Eugene, dan saat itu pula perjalanan Rapunzel yang sesungguhnya dimulai.
Oh yeah, whatever. -__- ha-ha.
Kalau Rapunzel memang hidup, aku yakin dia pasti nggak semudah itu memutuskan untuk keluar dari rumahnya.
Well, mengingat omongan mamanya yang bilang kalau dunia luar itu berbahaya, yeah blahblahblah.
She must be afraid.
Dan rasa itulah, yang sejatinya juga kita perlukan..
Rasa takut itu sebenarnya juga kita perlukan, tentunya dalam dosis tertentu.
Tanpa rasa takut, mungkin kelak saat mimpi itu tercapai, kita nggak akan pernah mendalami artinya isn't it?
Justru dengan rasa takut itu, kita (seharusnya) makin termotivasi, take a move, dan kala mimpi itu sudah tercapai, kita sadar betul apa yang membuat kita berjalan dari titik nol sampai titik atas - kerja keras.
Rumah Rapunzel - or how should I call it? Tower? - sebenarnya juga punya makna bagi kehidupan kita masing-masing.
Kita ini, secara sadar atau pun tidak, cenderung selalu living inside the box.
Takut untuk mengambil resiko, takut dengan apa yang terjadi, dan yang paling parah, takut untuk keluar - padahal di luar sana impian kita hadir dalam bentuk nyata, tinggal menunggu kita untuk keluar dan menggenggamnya.
Layaknya Rapunzel di film itu, memang nggak ada yang instan di dunia ini.
Semuanya butuh proses.
Sekali gagal, bahkan mungkin beberapa kali gagal.
Proses.
Kita mungkin nggak tahu berapa lama it takes time, tapi bukankah yang namanya proses tetap bergerak, dan suatu saat kita akan tiba? :)
Jika kita tetap mendayung, tak peduli seberapa sering ombak menerjang perahu kita, suatu saat, lentera-lentera itu pasti akan terlihat...

Setiap dari kita punya lentera masing-masing yang sudah menunggu di ujung sana.
Hanya saja, terserah dari kita masing-masing hendak melakukan apa.
Entah berdiam diri di menara yang tak lain adalah lingkup hidup kita yang begitu sempit, ataukah mulai keluar menyongsong dunia untuk menghampiri lentera tersebut.
Well, kalau aku..
Aku akan terus mendayung sampai meggapai lentera itu.
Lentera itu, mimpi yang sudah ada di hati ini sejak lama.

Otw to reach my lantern.
Hanya saja, terserah dari kita masing-masing hendak melakukan apa.
Entah berdiam diri di menara yang tak lain adalah lingkup hidup kita yang begitu sempit, ataukah mulai keluar menyongsong dunia untuk menghampiri lentera tersebut.
Well, kalau aku..
Aku akan terus mendayung sampai meggapai lentera itu.
Lentera itu, mimpi yang sudah ada di hati ini sejak lama.

Otw to reach my lantern.
0 komentar:
Posting Komentar