
"Together, never apart.
Maybe in distance, but never in heart."
*
Pelangi
Bau tetesan demi tetesan hujan yang sedari tadi mengguyur deras Surabaya tercium jelas. Mataku tak dapat menangkap apa pun kecuali lingkup yang begitu kabur. Bersama aliran hujan yang menciprati baju dan rambutku, air mataku turut meleleh bersamanya. Pipiku panas, pandanganku kian kabur.
Kami berlima di sini, hanya di sini, tak bergerak barang sesenti pun sejak beberapa jam yang lalu. Sebuah pohon besar yang berdiri gagah di halaman belakang sekolah meneduhi kami.
Kami berlima, tanpa sepatah kata pun yang terucap, duduk membelakangi dan mengelilingi pohon seraya menggenggam tangan satu sama lain. Kian lama kian erat, dan dada ini terasa semakin sesak.
“Jangan menangis.” Tiba-tiba sebuah suara pelan nan ringkih mengetuk gendang telingaku di tengah hujan. Bola beton seakan menghimpit dadaku. “Aku melihatmu,” suara gadis di sampingku itu kembali berbisik, “jangan menangis.”
Aku tertawa kecil, berat. Kerongkonganku serasa tercekat. “Aku tidak menangis, Angel.” Aku menatap gadis berambut hitam pekat itu, berusaha meyakinkannya. “Ini hujan, kau tahu... Jadi aku hanya...”
“Tabiatmu yang memang tak pernah lekang oleh waktu,” tiba-tiba Clara menimpali. Perlahan-lahan gadis itu melepaskan genggamannya, duduk merapat di sampingku. “Asal kau tahu saja, tak butuh waktu lama untuk mengenali sifatmu yang selalu begitu,” gerutunya.
“Benar.” Abbey menggeser duduknya, turut duduk berhimpit-himpitan dengan kami semua. “Astaga, tolonglah, jangan menangis lagi... Kau ingin membuatku menangis bersamamu?”
Aku terkekeh, namun air mata ini tak urung menyeruak kian deras. “Menangislah jika kau mau. Tak masalah bila kita berlima menangis sampai petang tiba... Toh ini yang terakhir. Yang terakhir.”
“Tidak, Jesslyn! Jaga bicaramu,” sergah Fanie cepat, membuatku tercekat. “Jangan berkata seolah-olah dunia sudah kiamat dan kita tak akan pernah bertemu selamanya.”
Aku menggigit bibir, menatap gadis berkacamata itu—setengah takjub, setengah haru. Fanie memang selalu begitu. Berpikiran luas. Namun ia tak bisa berbohong, aku tahu itu. Sekilas kulihat air mata menggenang di pelupuk matanya. Kacamatanya berembun selagi menahan tangis.
Kembali, sunyi menghantui. Dada ini terasa kian sesak. Aku menatap mereka semua satu per satu. Sahabat-sahabat yang telah mengisi hariku nonstop sejak kami masih duduk di kelas 1 SD, bahkan sejak Playgroup.
Kami, yang sama dan berbeda dalam satu dan lain hal. Abbey, gadis jangkung yang selalu tergelak di sana-sini, namun dalam hitungan detik dapat tenggelam dalam dunia melankolisnya. Angel, gadis ajaib yang selalu membuat warna baru dalam hidupku dengan celetukan-celetukan tak warasnya. Clara, gadis lugu yang dalam keheningannya selalu dapat membuatku takjub. Fanie, gadis super dalam banyak hal yang menyimpan banyak pesona di balik dirinya yang begitu polos.
Abbey dan Angel, cinta mati bahkan mendedikasikan hati mereka pada Justin Bieber seorang. Clara dan Fanie, gadis-gadis pecinta drama Korea mati-matian. Aku, yang tak suka keduanya, berisikukuh dengan bayanganku bahwa tak ada seorang pun dari mereka—Justin Bieber maupun aktor-aktor Korea—yang mampu memikat hati.
Aku dalam ketidak warasanku, bahkan justru lebih mengidolakan Captain Tsubasa dan Spongebob Squarepants, masih dapat bersatu dengan mereka berempat tanpa menyisakan rongga. Perbedaan, yang sejatinya memiliki perbedaan tipis dengan kesamaan yang mengikat.
“Prancis... Jauh sekali dari sini.” Sayup-sayup kudengar suara itu. Abbey. Lemah, putus asa. Aku menoleh pelan, detak jantungku seakan berhenti. Sebutir air mata bergulir pelan di pipinya. “Jauh dari kalian semua, jauh sekali.”
“Ah, kenapa kau jadi ikut menangis?” Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya, panik.
Sebuah senyuman dari bibirnya terukir, gadis itu tersenyum geli. “Senang sekali melihatmu panik begitu, Jess,” guraunya, “apalagi saat kau mengibas-ngibaskan tanganmu seperti tadi. Bak penjual sate di pinggir jalan.”
Aku merengut, sementara yang lainnya tertawa. “Nah, begini baru benar,” ujar Fanie di sela-sela tawanya, “tersenyum dan menikmati hidup. Apa gunanya kita menangis? Apa gunanya kita meratapi perpisahan bila waktu juga takkan berhenti bergulir?”
Aku kembali tenggelam dalam diam, seakan setiap butir kata yang keluar dari mulut gadis itu adalah kata-kata sihir.
“Entah mengapa, menurutku, sudah saatnya kita kembali bertanya pada diri kita sendiri,” Angel berbisik pelan, “apa tujuan kita pergi ke universitas masing-masing? Apa mimpi kita?”
“Aku ke Jakarta, kuliah jurusan bisnis untuk mendedikasikan hidupku di bidang itu,” Clara menggumam. “Dan kita semua tahu, Fanie mengejar ilmu ke Korea untuk menekuni dunia design, sedangkan Abbey ke Paris dan Jesslyn tetap di sini.” Seulas senyum terpancar di wajah lonjongnya. “Kalau Angel... Ke Kanada untuk mengejar angan-angannya dalam bayang-bayang Bieber,” selorohnya, lantas tertawa.
Angel tersenyum kecil, lantas melanjutkan, “Kita pergi untuk impian kita masing-masing, di tempat tujuan masing-masing. Tak ada yang salah dengan pergi mengejar mimpi, yang salah adalah bila kita membiarkan perpisahan seperti ini membuat kita terseok-seok menggapai mimpi itu...”
Aku memejamkan mata, mengangguk pelan. “Kita memang akan berada di titik-titik dunia yang berjauhan, namun berjanjilah... Hati kita tak akan membiarkan rongga menyusup di antara kita barang sesenti pun.”
“Dan suatu saat nanti...” Abbey menatap kami semua dengan tatapan menerawang. “Suatu hari nanti, bila seluruh impian itu sudah ada di genggaman, biarlah kita bertemu lagi di sini, tepat di sini, membagikan seluruhnya...”
Bertepatan dengan itu, hujan yang beberapa saat lalu berubah menjadi gerimis berangsur-angsur berhenti. Perlahan-lahan, pertemuan antar sang mentari dan tetes-tetes keagungan angkasa bersilang, membentuk segaris bentuk yang anggun, formulasi antar tujuh warna yang saling melengkapi.
Kami berlima terlonjak, berdiri serempak melempar pandang ke lingkup angkasa yang luas tak terperi. Bias ketujuh warna itu seakan bercampur menjadi satu, terbang melayang, menyusup ke dalam bilik kalbu kami masing-masing.
Kami berlima menggenggam tangan satu sama lain erat-erat, diselimuti keyakinan tanpa sepercik kekhawatiran pun. Perpisahan ini toh tak berarti akhir dunia. Kami pergi untuk mengejar mimpi, dengan lingkup persahabatan yang tetap di hati.
“Thank you... Thank you for being the rainbow of my life.”
Kami berlima di sini, hanya di sini, tak bergerak barang sesenti pun sejak beberapa jam yang lalu. Sebuah pohon besar yang berdiri gagah di halaman belakang sekolah meneduhi kami.
Kami berlima, tanpa sepatah kata pun yang terucap, duduk membelakangi dan mengelilingi pohon seraya menggenggam tangan satu sama lain. Kian lama kian erat, dan dada ini terasa semakin sesak.
“Jangan menangis.” Tiba-tiba sebuah suara pelan nan ringkih mengetuk gendang telingaku di tengah hujan. Bola beton seakan menghimpit dadaku. “Aku melihatmu,” suara gadis di sampingku itu kembali berbisik, “jangan menangis.”
Aku tertawa kecil, berat. Kerongkonganku serasa tercekat. “Aku tidak menangis, Angel.” Aku menatap gadis berambut hitam pekat itu, berusaha meyakinkannya. “Ini hujan, kau tahu... Jadi aku hanya...”
“Tabiatmu yang memang tak pernah lekang oleh waktu,” tiba-tiba Clara menimpali. Perlahan-lahan gadis itu melepaskan genggamannya, duduk merapat di sampingku. “Asal kau tahu saja, tak butuh waktu lama untuk mengenali sifatmu yang selalu begitu,” gerutunya.
“Benar.” Abbey menggeser duduknya, turut duduk berhimpit-himpitan dengan kami semua. “Astaga, tolonglah, jangan menangis lagi... Kau ingin membuatku menangis bersamamu?”
Aku terkekeh, namun air mata ini tak urung menyeruak kian deras. “Menangislah jika kau mau. Tak masalah bila kita berlima menangis sampai petang tiba... Toh ini yang terakhir. Yang terakhir.”
“Tidak, Jesslyn! Jaga bicaramu,” sergah Fanie cepat, membuatku tercekat. “Jangan berkata seolah-olah dunia sudah kiamat dan kita tak akan pernah bertemu selamanya.”
Aku menggigit bibir, menatap gadis berkacamata itu—setengah takjub, setengah haru. Fanie memang selalu begitu. Berpikiran luas. Namun ia tak bisa berbohong, aku tahu itu. Sekilas kulihat air mata menggenang di pelupuk matanya. Kacamatanya berembun selagi menahan tangis.
Kembali, sunyi menghantui. Dada ini terasa kian sesak. Aku menatap mereka semua satu per satu. Sahabat-sahabat yang telah mengisi hariku nonstop sejak kami masih duduk di kelas 1 SD, bahkan sejak Playgroup.
Kami, yang sama dan berbeda dalam satu dan lain hal. Abbey, gadis jangkung yang selalu tergelak di sana-sini, namun dalam hitungan detik dapat tenggelam dalam dunia melankolisnya. Angel, gadis ajaib yang selalu membuat warna baru dalam hidupku dengan celetukan-celetukan tak warasnya. Clara, gadis lugu yang dalam keheningannya selalu dapat membuatku takjub. Fanie, gadis super dalam banyak hal yang menyimpan banyak pesona di balik dirinya yang begitu polos.
Abbey dan Angel, cinta mati bahkan mendedikasikan hati mereka pada Justin Bieber seorang. Clara dan Fanie, gadis-gadis pecinta drama Korea mati-matian. Aku, yang tak suka keduanya, berisikukuh dengan bayanganku bahwa tak ada seorang pun dari mereka—Justin Bieber maupun aktor-aktor Korea—yang mampu memikat hati.
Aku dalam ketidak warasanku, bahkan justru lebih mengidolakan Captain Tsubasa dan Spongebob Squarepants, masih dapat bersatu dengan mereka berempat tanpa menyisakan rongga. Perbedaan, yang sejatinya memiliki perbedaan tipis dengan kesamaan yang mengikat.
“Prancis... Jauh sekali dari sini.” Sayup-sayup kudengar suara itu. Abbey. Lemah, putus asa. Aku menoleh pelan, detak jantungku seakan berhenti. Sebutir air mata bergulir pelan di pipinya. “Jauh dari kalian semua, jauh sekali.”
“Ah, kenapa kau jadi ikut menangis?” Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya, panik.
Sebuah senyuman dari bibirnya terukir, gadis itu tersenyum geli. “Senang sekali melihatmu panik begitu, Jess,” guraunya, “apalagi saat kau mengibas-ngibaskan tanganmu seperti tadi. Bak penjual sate di pinggir jalan.”
Aku merengut, sementara yang lainnya tertawa. “Nah, begini baru benar,” ujar Fanie di sela-sela tawanya, “tersenyum dan menikmati hidup. Apa gunanya kita menangis? Apa gunanya kita meratapi perpisahan bila waktu juga takkan berhenti bergulir?”
Aku kembali tenggelam dalam diam, seakan setiap butir kata yang keluar dari mulut gadis itu adalah kata-kata sihir.
“Entah mengapa, menurutku, sudah saatnya kita kembali bertanya pada diri kita sendiri,” Angel berbisik pelan, “apa tujuan kita pergi ke universitas masing-masing? Apa mimpi kita?”
“Aku ke Jakarta, kuliah jurusan bisnis untuk mendedikasikan hidupku di bidang itu,” Clara menggumam. “Dan kita semua tahu, Fanie mengejar ilmu ke Korea untuk menekuni dunia design, sedangkan Abbey ke Paris dan Jesslyn tetap di sini.” Seulas senyum terpancar di wajah lonjongnya. “Kalau Angel... Ke Kanada untuk mengejar angan-angannya dalam bayang-bayang Bieber,” selorohnya, lantas tertawa.
Angel tersenyum kecil, lantas melanjutkan, “Kita pergi untuk impian kita masing-masing, di tempat tujuan masing-masing. Tak ada yang salah dengan pergi mengejar mimpi, yang salah adalah bila kita membiarkan perpisahan seperti ini membuat kita terseok-seok menggapai mimpi itu...”
Aku memejamkan mata, mengangguk pelan. “Kita memang akan berada di titik-titik dunia yang berjauhan, namun berjanjilah... Hati kita tak akan membiarkan rongga menyusup di antara kita barang sesenti pun.”
“Dan suatu saat nanti...” Abbey menatap kami semua dengan tatapan menerawang. “Suatu hari nanti, bila seluruh impian itu sudah ada di genggaman, biarlah kita bertemu lagi di sini, tepat di sini, membagikan seluruhnya...”
Bertepatan dengan itu, hujan yang beberapa saat lalu berubah menjadi gerimis berangsur-angsur berhenti. Perlahan-lahan, pertemuan antar sang mentari dan tetes-tetes keagungan angkasa bersilang, membentuk segaris bentuk yang anggun, formulasi antar tujuh warna yang saling melengkapi.
Kami berlima terlonjak, berdiri serempak melempar pandang ke lingkup angkasa yang luas tak terperi. Bias ketujuh warna itu seakan bercampur menjadi satu, terbang melayang, menyusup ke dalam bilik kalbu kami masing-masing.
Kami berlima menggenggam tangan satu sama lain erat-erat, diselimuti keyakinan tanpa sepercik kekhawatiran pun. Perpisahan ini toh tak berarti akhir dunia. Kami pergi untuk mengejar mimpi, dengan lingkup persahabatan yang tetap di hati.
“Thank you... Thank you for being the rainbow of my life.”
*
Cerpen ini aku buat beberapa saat yang lalu, saat aku sedang galau-galaunya. :p
Well, mungkin nggak jauh berbeda dari sekarang...
Kita berlima memang akan SMA di sekolah yang berbeda-beda.
Abbey di MDC, Clara di Gloria, sedangkan aku, Angel, dan Fanie di Petra.
Well, mungkin nggak jauh berbeda dari sekarang...
Kita berlima memang akan SMA di sekolah yang berbeda-beda.
Abbey di MDC, Clara di Gloria, sedangkan aku, Angel, dan Fanie di Petra.
But one thing for sure, best friends stay forever. <3
0 komentar:
Posting Komentar