Kamis, 27 Januari 2011

Teletubbies, Time, and Ourselves

Baru aja aku buka Tumblrnya Angel, dan melihat gambar ini.



Yes, ofc.
I DO REMEMBER HIM.



Teletubbies. :)

Jujur, habis liat gambar di atas itu, aku langsung diem.
Membisu, nggak bicara apa-apa, hanya menatap lurus-lurus layar laptop di depanku.

Teletubbies, dan mesin penyedot supernya itu (?), sejatinya telah mengukir salah satu kenangan indah di masa kecilku.

Aku ingat sekali, saat itu kedua sepupuku, Vincent dan Irving masih tinggal di rumahku.
Vincent satu tahun lebih muda dari kakak kandungku, sedang Irving satu tahun lebih muda dariku.
Sementara itu, adikku saat itu masih bayi.

Masih terekam jelas di otakku, tayangan favorit kami berempat saat itu adalah Teletubbies.
Setiap pagi tayangan itu diputar di televisi, dan setiap pagi, di ruang keluargalah kami berempat berada.
Di mana Teletubbies berada, di situlah kami.

Kami berempat, yang masih mungil-mungil itu, jatuh cinta setengah mati pada empat makhluk warna-warni itu.. yang sekarang menurutku begitu aneh.
Kami berempat, sama sekali nggak tahu apakah nonton Teletubbies itu nggak baik atau gimana, yang jelas kami selalu suka serial-serialnya.

Aku ingat benar.
Kakakku, Jennifer, justru memilih karakter yang paling kecil, Po.
Karena tokoh perempuannya hanya tersisa satu, aku memilih untuk menjadi Laa Laa.
Sementara itu, Vincent memilih menjadi Tinky Wingky dan Irving menjadi Dipsy.
Sedangkan adikku, Jeff, yang saat itu bahkan belum bisa berjalan.. Kami anggap menjadi mataharinya.

Ada satu hal yang aku yakin seratus persen tak akan meninggalkan ingatanku sampai kapan pun.

Kami berempat berdiri di depan televisi berjejer, tatapan kami tak lepas dari layarnya.
Setiap gerakan yang dilakukan tokoh masing-masing di TV kami ikuti, detil demi detilnya.
Bahkan, kakakku yang saat itu punya skuter seringkali membawanya masuk ke ruang keluarga - berhubung barang kesukaan Po adalah skuter.

Kami berempat, bergoyang ke sana kemari, dipenuhi gelak tawa dan kepolosan anak kecil.

Hingga tiba saatnya sebuah film singkat diputar di salah satu perut Teletubbies - ya, ini ritual yang begitu menggelikan - kami berempat akan duduk di sofa, beristirahat sambil menonton klip singkat itu.
Saat klip itu sudah selesai, yah, artinya kami mulai bergerak mengikuti masing-masing tokoh itu lagi.

Ada satu lagi hal yang khas dari film Teletubbies, yaitu cara mereka berempat berpisah.
Mereka akan saling berkata 'dah' dan satu per satu melompat ke sebuah lubang, hingga pada akhirnya matahari terbenam.

Lalu, bagaimana dengan kami berempat?
Ya, yang terjadi adalah, saat tiba saatnya 'dah', kami pun melompat tinggi-tinggi dan mendarat ke lantai dengan posisi... jongkok. :p

*

Lihat?
Aku tak melupakan setitik detail pun dari memori masa kecilku yang satu itu.
Kebersamaan itu, gelak tawa itu, kepolosan itu.. semuanya akan tetap ada di hati.
Selamanya.

Sekarang Vincent dan Irving sudah tidak menetap di rumahku lagi.
Yah, seperti yang sering aku bilang, waktu berjalan begitu cepat.

Banyak yang berubah.
Banyak yang datang, banyak yang pergi.
Tapi memori-memori itu, akan selalu menetap dalam diri kita sampai kapan pun.

Saat membaca tweet-tweet di Twitter barusan, aku menemukan sebuah twe et yang membuatku cukup tersentuh.



Kita tahu, waktu berjalan begitu cepat.
Kita tahu, banyak yang berubah.
Kita tahu, banyak pula yang datang, banyak pula yang pergi.

Namun, apakah hanya sekadar tahu?

Lantas apa yang sudah kita lakukan selama waktu bergulir itu?
Apakah kita sudah mengambil langkah yang besar.. ataukah justru hanya membiarkan waktu bergulir menggerogoti jiwa?

Hanya diri kita seorang yang tahu.
Apakah kita telah menggapai sesuatu, ataukah justru, tangan ini tak lebih dari sepasang tangan yang hampa.

Selasa, 25 Januari 2011

Be True to Your Heart And Your Dreams Will Come True

Just read this :) I'm really blessed and inspired.

"Stay true to all your beliefs and goals.
Stand tall.
Through all life's setbacks and disappointments,
your dreams will come true.

When no one else is with you,
and no one seems to care,
just whisper to yourself,
"I am the controller of my destiny.
It's up to me what comes to pass,
and if I keep my thoughts positive and strong,
my dreams will come true."

When what seem to be impossible obstacles
stand in your way, just think of all the times
you got through yesterday.
There is a place for you in this world.
Stay on your chosen path.
All the power is within you;
be true to what is in your heart.
Be honest within yourself;
if you are, then you cannot fail.

Your dreams will come true."

~Debra Ruegg-Jenkins

Focus and Motivation

Hari ini aku belajar banyak.
Belajar tentang satu hal yang begitu luas lingkupnya, melebihi bentang angkasa.

Impian.

Dalam hidup, kita mungkin punya banyak impian.
Dari yang semacam 'ketemu Justin Bieber' (okay, turut prihatin buat fansnya JB yang ga bisa dateng karena UNAS :p), sampai mungkin, impian-impian yang lebih serius lagi seperti... Cita-cita.
Atau bahkan lebih dari itu.

Pertanyaannya, apakah keinginan kita itu benar-benar layak disebut impian, atau dreams?




Martin Luther memiliki impian yang besar.
Sudah tak asing lagi, semua orang pun tahu bagaimana ia bermimpi untuk memusnahkan diskriminasi yang membelenggu orang-orang negro.
Sebuah impian besar, dasyat, dan penuh resiko.
Sebuah impian, yang jelas sekali tak bertujuan untuk menyorot dirinya sendiri.

Ya, Martin Luther, a big dreamer.
Pemimpi yang dasyat, namun rela mati untuk memperjuangkan mimpinya itu.

Sekarang tak perlu jauh-jauh.
Kalau Martin Luther punya impian untuk memutuskan belenggu diskriminasi, Mr. Wira dan Ma'am Wulan punya mimpi untuk memajukan Kalimantan.

Jujur saja, pernyataan itu sempat membuat aku termenung di sesi karakter tadi.
Sebuah pertanyaan simpel merajalela dalam kepalaku: Bagaimana denganku?

*

Fokus dan Motivasi.

Sejatinya, semua itu hanya didasari oleh dua kata itu.
Apa fokus dan motivasimu, menentukan apakah keinginan kita itu layak disebut impian yang baik atau tidak.

Semuanya jadi tampak lebih simpel, dan jauh lebih jelas.

Aku tahu, aku boleh saja bermimpi.
Bermimpi untuk mempublikasikan cerpenku di koran yang cukup ternama itu, bermimpi membuat buku true story tentang diriku sendiri, bermimpi menerbitkan novelku sebelum lulus SMP (ya, yang ini horor.), dan bahkan, jadi penulis yang sukses.

Tapi, pertanyaannya sederhana saja: Apa fokus dan motivasiku untuk menggapai semua impian itu?

Jawabannya, antara sadar atau tidak... Diriku sendiri.

Sekarang aku tahu.
Tak hanya kata demi kata dan paragraf demi paragraf yang perlu dibenahi.
Lebih dari itu semua, yang terpenting adalah fokus dan motivasi itu sendiri.

Well, sederhanya saja: karena fokus dan motivasi itu adalah dasar dari segalanya.

Hari ini, aku kembali berlari mengejar impianku dengan (hopefully) sudut pandang yang berbeda.
Mulai hari ini...

Terima kasih untuk sesi karakter tadi yang, yeah, bener-bener life-changing.

*

Btw, tentang postingan sebelum ini, 'Prolog Secarik Burung Kertas'.
Secarik Burung Kertas adalah judul cerpenku untuk tugas BI, dan temanya adalah... Impian.

Aku bersyukur sekali karena sesi ini dibawakan sebelum aku sempat menyelesaikan cerpenku. :D


Secarik Burung Kertas,
terbanglah tinggi.

Believe. Hold On.

“There is inside you
all of the potential
to be whatever you want to be,
all of the energy
to do whatever you want to do.

Imagine yourself as you would like to be,
doing what you want to do,
and each day, take one step
towards your dream.

And though at times it may seem too
difficult to continue,
hold on to your dream.

One morning you will awake to find
that you are the person you dreamed of,
doing what you wanted to do,
simply because you had the courage
to believe in your potential
and to hold on to your dream.”

-Done Levine

(Prolog Secarik Burung Kertas)

Sabtu, 22 Januari 2011

Pelangi



"Together, never apart.

Maybe in distance, but never in heart."

*

Pelangi

Bau tetesan demi tetesan hujan yang sedari tadi mengguyur deras Surabaya tercium jelas. Mataku tak dapat menangkap apa pun kecuali lingkup yang begitu kabur. Bersama aliran hujan yang menciprati baju dan rambutku, air mataku turut meleleh bersamanya. Pipiku panas, pandanganku kian kabur.

Kami berlima di sini, hanya di sini, tak bergerak barang sesenti pun sejak beberapa jam yang lalu. Sebuah pohon besar yang berdiri gagah di halaman belakang sekolah meneduhi kami.

Kami berlima, tanpa sepatah kata pun yang terucap, duduk membelakangi dan mengelilingi pohon seraya menggenggam tangan satu sama lain. Kian lama kian erat, dan dada ini terasa semakin sesak.

“Jangan menangis.” Tiba-tiba sebuah suara pelan nan ringkih mengetuk gendang telingaku di tengah hujan. Bola beton seakan menghimpit dadaku. “Aku melihatmu,” suara gadis di sampingku itu kembali berbisik, “jangan menangis.”

Aku tertawa kecil, berat. Kerongkonganku serasa tercekat. “Aku tidak menangis, Angel.” Aku menatap gadis berambut hitam pekat itu, berusaha meyakinkannya. “Ini hujan, kau tahu... Jadi aku hanya...”

“Tabiatmu yang memang tak pernah lekang oleh waktu,” tiba-tiba Clara menimpali. Perlahan-lahan gadis itu melepaskan genggamannya, duduk merapat di sampingku. “Asal kau tahu saja, tak butuh waktu lama untuk mengenali sifatmu yang selalu begitu,” gerutunya.

“Benar.” Abbey menggeser duduknya, turut duduk berhimpit-himpitan dengan kami semua. “Astaga, tolonglah, jangan menangis lagi... Kau ingin membuatku menangis bersamamu?”

Aku terkekeh, namun air mata ini tak urung menyeruak kian deras. “Menangislah jika kau mau. Tak masalah bila kita berlima menangis sampai petang tiba... Toh ini yang terakhir. Yang terakhir.”

“Tidak, Jesslyn! Jaga bicaramu,” sergah Fanie cepat, membuatku tercekat. “Jangan berkata seolah-olah dunia sudah kiamat dan kita tak akan pernah bertemu selamanya.”

Aku menggigit bibir, menatap gadis berkacamata itu—setengah takjub, setengah haru. Fanie memang selalu begitu. Berpikiran luas. Namun ia tak bisa berbohong, aku tahu itu. Sekilas kulihat air mata menggenang di pelupuk matanya. Kacamatanya berembun selagi menahan tangis.

Kembali, sunyi menghantui. Dada ini terasa kian sesak. Aku menatap mereka semua satu per satu. Sahabat-sahabat yang telah mengisi hariku nonstop sejak kami masih duduk di kelas 1 SD, bahkan sejak Playgroup.

Kami, yang sama dan berbeda dalam satu dan lain hal. Abbey, gadis jangkung yang selalu tergelak di sana-sini, namun dalam hitungan detik dapat tenggelam dalam dunia melankolisnya. Angel, gadis ajaib yang selalu membuat warna baru dalam hidupku dengan celetukan-celetukan tak warasnya. Clara, gadis lugu yang dalam keheningannya selalu dapat membuatku takjub. Fanie, gadis super dalam banyak hal yang menyimpan banyak pesona di balik dirinya yang begitu polos.

Abbey dan Angel, cinta mati bahkan mendedikasikan hati mereka pada Justin Bieber seorang. Clara dan Fanie, gadis-gadis pecinta drama Korea mati-matian. Aku, yang tak suka keduanya, berisikukuh dengan bayanganku bahwa tak ada seorang pun dari mereka—Justin Bieber maupun aktor-aktor Korea—yang mampu memikat hati.

Aku dalam ketidak warasanku, bahkan justru lebih mengidolakan Captain Tsubasa dan Spongebob Squarepants, masih dapat bersatu dengan mereka berempat tanpa menyisakan rongga. Perbedaan, yang sejatinya memiliki perbedaan tipis dengan kesamaan yang mengikat.

“Prancis... Jauh sekali dari sini.” Sayup-sayup kudengar suara itu. Abbey. Lemah, putus asa. Aku menoleh pelan, detak jantungku seakan berhenti. Sebutir air mata bergulir pelan di pipinya. “Jauh dari kalian semua, jauh sekali.”

“Ah, kenapa kau jadi ikut menangis?” Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya, panik.

Sebuah senyuman dari bibirnya terukir, gadis itu tersenyum geli. “Senang sekali melihatmu panik begitu, Jess,” guraunya, “apalagi saat kau mengibas-ngibaskan tanganmu seperti tadi. Bak penjual sate di pinggir jalan.”

Aku merengut, sementara yang lainnya tertawa. “Nah, begini baru benar,” ujar Fanie di sela-sela tawanya, “tersenyum dan menikmati hidup. Apa gunanya kita menangis? Apa gunanya kita meratapi perpisahan bila waktu juga takkan berhenti bergulir?”

Aku kembali tenggelam dalam diam, seakan setiap butir kata yang keluar dari mulut gadis itu adalah kata-kata sihir.

“Entah mengapa, menurutku, sudah saatnya kita kembali bertanya pada diri kita sendiri,” Angel berbisik pelan, “apa tujuan kita pergi ke universitas masing-masing? Apa mimpi kita?”

“Aku ke Jakarta, kuliah jurusan bisnis untuk mendedikasikan hidupku di bidang itu,” Clara menggumam. “Dan kita semua tahu, Fanie mengejar ilmu ke Korea untuk menekuni dunia design, sedangkan Abbey ke Paris dan Jesslyn tetap di sini.” Seulas senyum terpancar di wajah lonjongnya. “Kalau Angel... Ke Kanada untuk mengejar angan-angannya dalam bayang-bayang Bieber,” selorohnya, lantas tertawa.

Angel tersenyum kecil, lantas melanjutkan, “Kita pergi untuk impian kita masing-masing, di tempat tujuan masing-masing. Tak ada yang salah dengan pergi mengejar mimpi, yang salah adalah bila kita membiarkan perpisahan seperti ini membuat kita terseok-seok menggapai mimpi itu...”

Aku memejamkan mata, mengangguk pelan. “Kita memang akan berada di titik-titik dunia yang berjauhan, namun berjanjilah... Hati kita tak akan membiarkan rongga menyusup di antara kita barang sesenti pun.”

“Dan suatu saat nanti...” Abbey menatap kami semua dengan tatapan menerawang. “Suatu hari nanti, bila seluruh impian itu sudah ada di genggaman, biarlah kita bertemu lagi di sini, tepat di sini, membagikan seluruhnya...”

Bertepatan dengan itu, hujan yang beberapa saat lalu berubah menjadi gerimis berangsur-angsur berhenti. Perlahan-lahan, pertemuan antar sang mentari dan tetes-tetes keagungan angkasa bersilang, membentuk segaris bentuk yang anggun, formulasi antar tujuh warna yang saling melengkapi.

Kami berlima terlonjak, berdiri serempak melempar pandang ke lingkup angkasa yang luas tak terperi. Bias ketujuh warna itu seakan bercampur menjadi satu, terbang melayang, menyusup ke dalam bilik kalbu kami masing-masing.

Kami berlima menggenggam tangan satu sama lain erat-erat, diselimuti keyakinan tanpa sepercik kekhawatiran pun. Perpisahan ini toh tak berarti akhir dunia. Kami pergi untuk mengejar mimpi, dengan lingkup persahabatan yang tetap di hati.

Thank you... Thank you for being the rainbow of my life.

*

Cerpen ini aku buat beberapa saat yang lalu, saat aku sedang galau-galaunya. :p
Well, mungkin nggak jauh berbeda dari sekarang...

Kita berlima memang akan SMA di sekolah yang berbeda-beda.
Abbey di MDC, Clara di Gloria, sedangkan aku, Angel, dan Fanie di Petra.

But one thing for sure, best friends stay forever. <3

Jumat, 14 Januari 2011

Those Reasons

Kalau aku dilahirkan sebagai anak tunggal, mungkin aku tak akan pernah melihat kakakku menulis cerpen di komputer kamar kami.

Kalau aku tak pernah melihatnya mengetik cerpen, mungkin aku tak akan pernah merasa 'ingin menang'.

Kalau aku tak pernah merasa 'ingin menang' darinya, mungkin aku tak akan pernah mencoba menulis novel.

Kalau aku tak pernah menulis novel pertamaku, J2D, mungkin aku tak akan pernah tahu betapa jelek dan haramnya sebuah novel yang tak diberi paragraf.

Kalau setelah J2D aku berhenti, mungkin novel-novel menggelikanku macam Niko & Nisa, I'm Veronica dan 'satu-novel-lagi-yang-benar-benar-tak-berjudul' tak akan pernah lahir.

Kalau novel-novel menggelikan itu tak pernah lahir, mungkin aku tak akan pernah belajar menciptakan sebuah judul yang menarik.

Kalau Angel tak pernah yang janjian denganku untuk sama-sama membuat cerita tentang persahabatan, mungkin aku tak akan pernah menulis novel tak suksesku yang hanya berjumlah 13 halaman, D' Precious Friendship.

Kalau bukan karena novel gagal itu, Angel tak akan pernah menyarankanku untuk mengirim naskah novel ke Kecil-Kecil Punya Karya (Well, meski memang pada akhirnya aku tidak mengikuti saran itu :p).

Kalau Angel tak pernah menyarankan hal-hal semacam itu, mungkin tak akan pernah terlintas setitik pun ide untuk mempublikasikan tulisanku.

Terbang ke SMP kelas 2..
Dan seterusnya. :p

Kalau Ma'am Putri tidak pernah meminta kelas kami membuat cerpen di salah satu tes Bahasa Indonesia, mungkin aku tak akan pernah mencoba menulis cerpen.

Kalau aku tak pernah mencoba menulis cerpen saat itu, mungkin ide laluku untuk menerbitkan buku tak akan pernah di-refresh ulang.

Kalau saat itu pikiranku tak pernah di-refresh ulang, mungkin aku tak akan pernah mencoba membuat novel lagi.

Kalau saat itu aku tak pernah mendapat cobaan itu (HAHAHA! >:D), mungkin Unpredictable Missing Puzzle tidak akan pernah lahir.

Kalau novel 156 halaman itu tak pernah lahir, mungkin tak akan ada teman-teman yang pernah membacanya.

Kalau teman-teman tak pernah membaca novel itu, mungkin hingga sekarang aku tak pernah menyadarinya betapa aku memiliki kawan-kawan ajaib yang selalu mendukungku kapan pun.

Kalau aku tak pernah sadar akan dukungan-dukungan itu, mungkin aku akan berhenti di tengah jalan karena merasa jalan menuju mimpiku terlalu jauh.

Kalau bukan karena Unpredictable Missing Puzzle, mungkin aku tak akan pernah sadar betapa jeleknya tulisanku saat itu.

Kalau aku tak pernah sadar betapa jeleknya tulisanku saat itu, mungkin aku tak akan pernah mencoba membuat novel baru lagi, Setetes Embun Malam.

Kalau aku tak pernah menulis Setetes Embun Malam, mungkin aku tak akan pernah memulai titik awalku, mencoba mengirimkan naskahku ke salah satu penerbit.

Kalau aku tak pernah mengirimkan naskah novel itu ke penerbit tersebut, mungkin aku juga tak akan pernah mendapatkan amplop oranye yang berisi pemberitahuan bahwa naskahku ditolak.

Kalau bukan karena naskahku yang ditolak dalam hitungan satu minggu, mungkin aku tak akan pernah termotivasi untuk melanjutkan Mélodie d'Amour dan menyelesaikannya secepatnya.

Kalau aku tak mencoba menyelesaikan Mélodie d'Amour, mungkin aku tak akan pernah mengirimkannya ke penerbit itu lagi.

Kalau aku tak pernah mencoba mengirim novel itu, barangkali.. aku tak ada di sini, terbang, sedikit takut terhempas, namun tak dapat berhenti.

*

What I can say is, everything happens for a reason.

Mungkin kadang-kadang kita terhempas, bertanya-tanya mengapa hal itu harus terjadi.
Seperti aku.

But, well, seperti yang aku bilang, semua itu pasti ada alasannya. :D
Meski yang di atas itu cuma catatan seorang gadis cemen yang bermimpi menjadi penulis, tapi aku sudah bisa nge-list sebanyak itu.
Padahal, yah, lingkupnya cuma novel.

Bagaimana dengan yang lainnya?
Pasti masih banyak.
Dan tak jarang pula, kita terjatuh.

Namun, apa gunanya berhenti?

Tuhan tahu yang terbaik.
Dan Dia, seperti biasa, selalu punya waktu yang terbaik untuk rencana terbesarNya.

Retreat Motivasi

God has shown me that dreams do come true, contohnya beberapa hari yang lalu.
Kalau kita memang sudah doa dan berusaha, kenapa nggak? :D

Yang penting, selain keinginan atau goal kita itu nggak bertentangan sama mauNya, tentu aja kita harus memerhatikan syarat dan ketentuan di bawah ini. >:) huahaha.

Specific
Measurable
Attainable
Realistic
Timely

Hidup ini adalah sebuah perlombaan, dengan impian-impian di ujung sana yang pasti terus diperbaharui.
Apapun impian kita itu, sebesar apapun giant yang bakal menghadang kita di perjalanan, Tuhan pasti sanggup menguatkan kita. :D

Karena kita, sejatinya, adalah lebih dari seorang pemenang.

Aku sendiri, punya mimpi-mimpi.
Salah satu hal yang paling dekat, misalnya, dapat nilai bagus di UNAS.
Itulah yang dibahas di retreat motivasi kemarin sampai hari ini. :)

Well, aku dapat banyak hal.
Selain cerita tentang Mr. Sinung free kick yang begitu menempel di otak :p, salah satu hal yang paling aku ingat, tentu aja waktu aku bikin target nilai, dan berdoa sama Tuhan untuk minta bantuanNya. :)

Kalau bukan karena retreat motivasi itu, mungkin aku nggak akan memasang target seperti ini.
Kalaupun iya, barangkali aku sudah gagal di tengah jalan. :p

So, fight guys!
Seperti Mr. Sinung yang cuma punya tanggung jawab dalam bidang free kick itu, kita semua juga tentu bisa.
Meski UNAS ini masih terlihat nggak ada apa-apanya dibanding persoalan-pesoalan 'gila' tokoh-tokoh alkitab, tapi aku percaya, Tuhan udah ngasih kita tanggung jawab dan kita akan FINISH IT WELL. :D

"GRADE 9!
YES!
Uh yeaahh, baby."

Selasa, 11 Januari 2011

Thank You :)

Thank you, Jesus :)
You answered my prayer.

I can now cross and remove one of my wishes.
Yay thank you God, again. :D


Dear my gorgeous monsters,

"Together forever, never apart. Maybe in distance, but never in heart.”

Senin, 10 Januari 2011

What's Gonna Happen Next?

10 tahun yang lalu, aku masih seorang gadis mungil yang berumur tak lebih dari 4 tahun. Aku, duduk di bangku TK Benih Kasih, berlarian kesana-kemari bersama teman-teman seakan dunia ini hanya milik kami seorang.

1 tahun yang lalu, aku duduk bersama teman-teman 8A, berkeluh kesah satu dengan yang lainnya. Mengapa hidup serasa tak adil, mengapa rasa itu begitu menyayat. Puisi demi puisi melelehkan air mata, tak jarang lagu bercermin patah hati terngiang-ngiang.

1 bulan yang lalu, aku baru saja mengirimkan Mélodie d'Amour, membiarkan impianku turut terbang bersamanya. Aku, yang sedikit takut terhempas, namun tak lagi sanggup berhenti.

1 minggu yang lalu, aku ada di Malaysia, bertolak dari titik satu ke titik yang lainnya. Melewati hari demi hari yang singkat di negeri orang bersama keluarga, menatap dunia dan bergumam betapa indahnya kebersamaan ini.

1 hari
yang lalu, aku duduk di ruangan yang asing bagiku, berhadapan dengan lembar-lembar soal dengan 100 butir pertanyaan. Aku, yang telah maju sampai titik itu, berharap dalam hati, sungguh berharap agar tak gagal.

1 jam yang lalu, aku baru saja berkutat dengan ratusan angka sambil diselingi canda tawa.

1 menit yang lalu, aku tengah menulis kata demi kata untuk blog ini, sambil sesekali terlintas di pikiran, bahwa waktu memang berjalan begitu cepat.

1 detik yang lalu, well.. Aku menuliskan kata sebelum kata ini. :D

*

Seringkali terlintas di otakku, bagaimana dengan besok?
Bagaimana dengan tahun depan?
Bagaimana dengan sepuluh-dua puluh tahun lagi?
Akan jadi apakah aku ini?

Bahkan.. apa yang akan terjadi setelah aku mengedipkan mata sepersekian detik lagi?

Kita, sebagai manusia, tak akan pernah tahu.
Apa yang akan terjadi ke depannya, sepenuhnya ada di tangan Tuhan.

Apa yang akan terjadi? Entahlah.

Mungkin, dua bulan lagi akan ada pemberitahuan dari penerbit itu, bagaimana kabar Mélodie d'Amour.
Aku tak pernah tahu.
Apakah kabar itu berupa naskah yang dikembalikan, ataukah justru berupa e-mail yang memberitahukan bahwa naskah itu layak terbit.

Atau, tak perlu sejauh itu.
Besok saja.
Aku tak pernah tahu, bahkan hingga detik ini, apa yang akan terjadi besok.
Apakah namaku akan masuk dalam daftar siswa yang lolos seleksi SMA itu?

Tidak tahu.
Tidak ada yang tahu.

Apa yang bisa kita lakukan hanyalah melakukan yang terbaik.
Sisanya, sepenuhnya di tangan Tuhan.

Kata-kata ini selalu menguatkan aku dan teman-teman sejak beberapa hari yang lalu,

"Do the best and God will take the rest."

Jumat, 07 Januari 2011

AMEN.

Yeah, honestly, I'm afraid.. that it's just not enough.

But, Kim A's right, God is always be with us.
Fight, guys!
We can do it!

In the name of Jesus Christ, amen.