Rabu, 30 Maret 2011

Pendar Mimpi

Cerpen untuk Writing Session tanggal 24 Maret 2011, dengan tema yang ditentukan, 'Wishes'. :) Ya, sebuah cerita kilat yang ditulis di sela-sela pembuatan makalah ekonomi. Ha-ha-ha.


Pendar Mimpi



Kepalaku keoranyeanku yang baru saja membara berpendar memancarkan kehangatan tersendiri yang bagiku bak awal kehidupan yang begitu berarti. Tetesan yang perlahan-lahan luruh dari kepala melumuri badan berbentuk angka ‘17’-ku, hangat, nyaman bukan buatan. Semua atmosfir ini, seakan sengaja memanjakanku dalam detik-detik akhir hidup.

Make a wish, Kimberly! Make a wish and blow out the candles!”

Aku mendengar semarak di sekelilingku, menyoraki sang primadona malam ini: Kimberly. Dengan balutan gaun merah marunnya, kulihat seulas senyum bahagia terpancar dari wajahnya. Gadis itu, tuanku. Gadis itu, pencipta awal kehidupanku—sekaligus gadis yang akan mengakhiri detik-detik bara kebahagiaanku dalam hidup yang singkat ini.

Rambut sepunggung gadis itu menutupi sebagian wajahnya, namun dapat kulihat jelas kala kelopak matanya mulai terpejam. Bibir tipisnya bergoyang-goyang lembut, berucap dalam hati...

Nafasku tercekat. Dadaku bergejolak, jantung ini berdegub di luar kontrol. Ya, katakanlah begitu. Lelehan hangat dari kepalaku yang terbakar masih melumuri tubuh angka ‘17’-ku... Namun kini tak terasa lagi. Ya, aku mati rasa. Perasaan ini, yang selalu menyelubungiku kala aku tahu hidupku akan berakhir sebentar la...

Pfftt...

Tepuk tangan teman-teman gadis bernama Kimberly yang tengah merayakan ulang tahun ketujuh belasnya itu membahana seiring dengan hembusan lembut pada api lilin. Hembusan itu melenyapkan api yang semenit lalu baru saja menyala, membuatnya menjelma menjadi gumpalan asap yang menyeruak dalam ruangan.

Hidupku berakhir, seiring dengan hembusan itu. Satu hal yang kuharap, hanya agar keinginan dan impian tuanku itu menjadi kenyataan...

Dan kalau boleh aku menambahkan satu lagi daftar keinginanku, aku ingin diberi kesempatan untuk kembali hidup... Walau tak lebih dari satu menit seperti momen tadi.

...Sekali Lagi, Sebuah Penantian

Tanggal 30 Maret 2011.
Sudah bisa disebut sebagai akhir bulan, kan?

Antara terasa dan tidak terasa, sudah hampir empat bulan aku menunggu. Dengan sekelumit kegalauan, gejolak dalam dada yang rasanya ingin melompat keluar. Di satu sisi ingin kabar itu segera datang, tapi di sisi lain ingin memperlambat waktu agar diri ini tak perlu menghadap kenyataan yang barangkali penuh pilu.

Yah, mau tidak mau, busur waktu tetap bergerak maju. Dan dalam hitungan hari, bahkan hitungan jam mungkin, sebuah jawaban dari penantianku akan segera tiba...

Mélodie d'Amour, akankah kau menjadi jawaban akan mimpiku selama bertahun-tahun terakhir ini?


*) Postingan ini berkaitan erat dengan ukiran memori tanggal 10.12.10 dan 14.03.11.

Rabu, 23 Maret 2011

Sepasang Rajutan Sayap Baru

23.03.11
Pernahkah kau rasa, kala impian itu terasa begitu jauh untuk digapai, sementara kau seakan sudah merentangkan tanganmu sepanjang yang kau bisa?

Tapi terima kasih Kim A, Fanie, Clara, Angel, Abbey.
Terima kasih sudah datang untuk menyeka air mata ini dan membuatkanku sepasang rajutan sayap untuk kembali terbang.
Seperti kata orang..
Best friend sees the first tear, catches the second, and stops the third.
:)

Senin, 21 Maret 2011

Refleksi Math, dan Cepatnya Waktu Berputar

Beberapa hari lalu aku sempat membongkar folder-folder komputerku yang sudah menjamur karena lama tak disentuh. Ada banyak hal yang aku temukan di sana--mulai dari presentasi alay, foto-foto alay, dan serba-serbi ALAY lainnya.

Satu file yang nggak terlupakan buatku adalah refleksi matematika yang aku buat di kelas delapan, waktu aku masih diajar sama Mr. Erwin yang tahun ini resign. And bambambam *drumroll* this is it:


Refleksi
Kegunaan Lingkaran Dalam Kehidupan Sehari-hari

Materi dalam pelajaran matematika semester dua kali ini salah satunya adalah mengenai lingkaran. Karena itu, dalam kesempatan kali ini, saya akan membahas mengenai kegunaan lingkaran dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, tentu saja ada banyak lingkaran yang bisa kita temukan, mulai dari benda-benda sepele seperti donut dan tempat CD player, bahkan sampai benda-benda yang lebih rumit seperti permainan roller coaster. Karena itu, lingkaran memiliki banyak kegunaan, misalnya dalam mengukur diameter maupun luas lingkaran tersebut.

Mari kita mulai dengan contoh sederhana, yaitu kegunaan prinsip lingkaran pada donut. Seorang penjual donut tentu saja harus memperhatikan diameter dan keliling donut yang akan dicetaknya, agar setiap donut yang diproduksinya bisa memiliki ukuran yang sama.

Contoh sederhana yang lain adalah kegunaan lingkaran pada pembuatan tempat CD player. Seseorang yang membuat tempat CD player tentu saja harus menyesuaikan diameter tempat dengan diameter CD playernya, agar tempat CD player itu bisa pas untuk CD player, tidak terlalu besar maupun terlalu kecil.

Sedangkan contoh yang lebih rumit bisa diamati dari kegunaan lingkaran pada rel roller coaster. Saat rel roller coaster yang berbentuk lingkaran itu dibuat, tentu saja harus dipertimbangkan, apakah roller coaster bisa melewatinya dan tidak akan terjatuh. Jika salah perhitungan sedikit saja, maka hasilnya akan fatal.

Melalui contoh-contoh sederhana di atas, kita dapat mengerti bahwa sangat penting untuk mengetahui prinsip-prinsip lingkaran. Mulai dari hal yang sederhana seperti rumus keliling lingkaran (π.d) dan rumus luas lingkaran (π.r2) sampai prinsip-prinsip lingkaran yang lebih rumit lainnya yang akan dipelajari di jenjang yang lebih tinggi.

Berikut ini adalah sedikit untaian baris puisi yang diharapkan bisa menggambarkan sedikit rasa kekaguman saya pada lingkaran... O.O

Menengadah ke langit pagi
Menatap sinar agung mentari
Lingkaran bercahaya ini
Mampu menggetarkan hari

Senja mempertemukan kami
Lingkar wajah damai
Dengan senyumnya yang mengisi hati
Membuatku enggan pergi

Kini aku duduk di malam sepi
Menatap purnama di malam hari
Anggunnya lingkaran ini
Seakan menghanyutkan mimpi

Tertanda,

Jesslyn Chandra
(Selaku pecinta lingkaran O.O)


Aku masih ingat sekali, refleksi (plus puisi) itu aku tulis waktu aku lagi ada masalah sama Mr. Erwin. Yah, katakanlah, aku sensi banget sama guru matematikaku yang satu itu. Kadang aku merasa kurang bisa mengerti penjelasannya, nilaiku sampai dapat jelek, plus pengaruh teman-teman lain yang nggak jauh beda sama aku - semua itu sadar nggak sadar membuat aku membabi buta dalam rangka 'membenci' beliau. :p

Seingatku, waktu itu aku lupa membawa salah satu peralatan matematika. Mr. Erwin lantas menghukum aku (dan Sonia, aku masih ingat itu) untuk menulis refleksi perihal kegunaan lingkaran sebanyak 200 kata, kalau tidak salah.

Aku dan Sonia (yang juga sensi banget sama Mr. Erwin) sepakat nggak ngerjain refleksi itu, karena kami merasa kami nggak salah. Yeah, pardon my attitude.. :p

Dan hari pun bergulir, Mr. Erwin menagih refleksi itu, tapi kami berdua dengan santainya bilang kalau kami nggak ngerjain. Supaya aku dan Sonia kapok, beliau pun menambah hukuman refleksi kami jadi 300 kata, kalau tidak salah. Singkat cerita, aku dan Sonia nggak punya pilihan lain selain mengerjakan hukuman itu.

Jadilah aku duduk di depan komputer sore itu sepulang sekolah, mengetik begitu saja untuk refleksi matematika ini. Sampai di bagian sebelum puisi, kata-katanya masih kurang sedikit. Saat itu, terperciklah ide di benakku untuk menambahkan puisi SEKALIAN, biar Mr. Erwin (yang aku nggak suka) itu PUAS. :p Pikiran yang sangat konyol dan dangkal, I know. Hahaha.

Dan well, yeah.. Jadinya, ya seperti itu. Salah satu hukuman yang nggak akan pernah aku lupakan seumur hidup.

OHYA! Dan kalian tahu apa? Besok paginya aku menyerahkan refleksi itu--setengah dongkol setengah geli, dan Mr. Erwin juga menanggapinya dengan tawa. Dan hal yang nggak bisa aku lupakan, beliau MENINGGALKAN mahakaryaku itu di kelas, sampai di baca guru-guru dan teman-teman, salah satunya Ma'am Fao.

Yah, itulah aku, satu tahun yang lalu. Aku, dan segala kenakalan yang menyelubungi. Hahaha. Well, time flies..

Seandainya Mr. Erwin baca postinganku sekarang (oke, silahkan pakai peta Dora the Explorer kalau mau tahu urlnya, Mr! :p).. Aku cuma mau bilang, sorry. Sorry, aku dan segala kenalakalan yang ajaib ini mungkin buat Mr. jadi kerepotan banget tahun lalu.. Tapi setidaknya, aku adalah salah satu murid yang nggak akan terlupakan, kan? ;)

Hahaha. Yah, semoga Tuhan mempertemukan Mr. dengan blog ini, supaya Mr. bisa tahu, kalau seiring dengan berjalannya waktu, aku masih ingat sama Mr, dan segala kesalahanku.. :p

Dan seperti yang aku bilang tadi, time flies. Aku nggak nyangka, waktu bisa berjalan secepat ini. Rasanya baru kemarin adu mulut sama Mr. Erwin (hal yang frekuensinya cukup sering), tapi hari ini udah persiapan ujian sekolah, dan bakal Unas 25 April mendatang. Sekarang? Sudah 21 Maret.

Apa yang bisa kulakukan, selain memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya?

Jumat, 18 Maret 2011

Sepatah Kata

Sepatah Kata
(Kata Pengantar Secarik Burung Kertas - lanjutan dari postingan sebelumnya)


Puji syukur kepada Tuhan Yesus yang telah menyertai saya dalam proses pembuatan cerita pendek ini, sehingga dapat selesai tepat pada waktunya. Lebih dari itu, terima kasih kepadaNya karena telah membawa saya kemari... Ke sebuah pulau tempat saya menapakkan kaki untuk menggapai mimpi.

Terima kasih juga yang sebesar-besarnya kepada keluarga dan teman-teman—terutama Abbey, Angel, Clara, dan Fanie—yang telah mendukung saya sepenuhnya untuk merampungkan cerpen ini. Juga, kepada Ma’am Agata dan Ma’am Putri yang telah memberikan kesempatan ini kepada saya dan teman-teman lainnya. Tanpa itu semua, barangkali tak akan pernah terpercik di benak saya untuk membuat cerita tentang kisah hidup saya sendiri. Tak lupa, untuk sosok itu, ‘Harry’, yang secara tidak langsung telah membuat saya kembali tenggelam dalam dunia menulis... Tanpa kamu, barangkali mimpi saya itu sudah dihembuskan angin.

Saya hanyalah seorang gadis biasa. Gadis biasa, yang menguburkan impiannya di lubuk hati terdalam. Gadis biasa, yang terseok-seok melangkah keluar, terbang, sedikit takut terhempas, namun tak dapat berhenti... Gadis biasa, yang mencoba mencurahkan isi mimpinya dalam bilik-bilik kalbu yang telah cukup lama tertimbun, di atas lembaran-lembaran kertas ini.

Sebagian besar cerita ini dibuat berdasarkan kenyataan yang ada, dengan sedikit tambahan pemanis di sana-sini. Sejatinya, cerita ini memang belum selesai, karena saya tahu, perjalanan ini masih panjang. Dan Anda, akan mengerti setelah membacanya.

Sekali lagi, terima kasih untuk kalian semua... Tanpa dukungan kalian, cerita ini tak akan pernah lahir. Dan saya, sampai kapan pun, tak akan pernah mampu terbang.


Jesslyn Chandra

Secarik Burung Kertas



Secarik Burung Kertas
Catatan seorang pemimpi yang berjalan terseok-seok.
2005-2010 :)


Cerpen kisah nyata ini (oke, aku tahu cerpenku sama sekali nggak layak disebut 'cerpen' lagi, mengingat tebal halamannya yang sudah hampir menyerupai novel - 85 halaman) sebenarnya adalah tugas Bahasa Indonesia yang dikumpulkan tanggal 14 Maret 2011 lalu, tapi baru sempat aku tulis di blog ini sekarang.

Cerpen ini merupakan racikan dari 80% kenyataan dan 20% fiksi, dengan tambahan pemanis di sana-sini. Semua ini, kata demi kata, paragraf demi paragraf, aku curahkan untuk menuliskan segala perjalanan ini dalam meraih impian, sejak aku masih menginjak kelas 4 SD hingga tanggal 10 Maret yang lalu.

Kenapa judulnya Secarik Burung Kertas? Ini yang aku bilang pemanis. Di cerita itu, aku tulis, bagaimana aku selalu menulis impianku di secarik burung kertas dan menggantungnya di jendela. Seperti impian-impian itu, yang tergantung dalam bilik kalbuku sekarang...

Aku senang, karena burung-burung kertas itu tak mati. Aku berhasil mengalahkan writer's block dan kegalauan yang berulang kali menyerang, mengingat aku merasa cerpen ini begitu membosankan dengan tema yang kurang mengundang binar mata: mimpi.

Namun, sekalipun burung-burung kertas itu tak mati, jujur, aku juga merasa seakan... Burung-burung kertas itu belum benar-benar hidup. Aku tak tahu apa, tapi aku merasa, rangkaian kata itu masih belum benar-benar... Entahlah. Rasa bahagia membuncah dalam dada ketika tulisanku selesai itu, belum benar-benar terpercik.

However, makasih yang sebesar-besarnya buat semua yang secara langsung maupun tidak ikut membantu aku, kapan pun dan di mana pun. :p Kata pengantarnya, bakal aku post setelah postingan ini :) hahaha.




Mungkin, jika ada kesempatan, suatu saat nanti aku akan membuatmu benar-benar terbang, Secarik Burung Kertas.

Senin, 14 Maret 2011

14.03.11



Mungkin nggak nyambung banget, aku pasang foto Raditya Dika di sini, juga di *psst* Twitter dan laptopku. :p But, setidaknya foto ini akan mengingatkan aku selalu kalau Abbey sempat dengan gilanya taruh gambar ini di laptopku, beberapa saat sebelum aku menelepon nomor itu dan menyadari semuanya.


Hari ini, hari di mana jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya. Hari ini, hari di mana keringat dingin terasa di kedua telapak tanganku. Hari ini, hari di mana bulu kudukku berdiri serempak. Dan hari ini pula, hari di mana aku sadar tak seharusnya aku menyerah.

*

Halo, semuanya.

Hari ini tanggal berapa?
Tanggal 14 Maret 2011.

Kapan aku mengirimkan Mélodie d'Amour?
Tanggal 10 Desember 2010.

YA, HARI INI TEPAT TIGA BULAN LEBIH EMPAT HARI SEJAK AKU MENERBANGKAN IMPIANKU.

Which means... KABAR DARI PENERBIT ITU AKAN DATANG, DALAM WAKTU DEKAT INI, TAK SAMPAI SEBULAN LAMANYA.

*

Aku tahu, sudah lama aku menantikan hari-hari ini. Dan kala hari yang dinanti itu telah datang, rasanya diri ini ingin bersembunyi.. Dan melonjak dalam waktu yang bersamaan.

Selepas UAS Biologi tadi (yeah, it sucks), aku ngobrol-ngobrol di kantin bareng Abbey, Clara, Fanie. Angel? Udah keburu pulang karena aku usir, berhubung kita mau ngerjain hadiah ultahnya dia. :p

Ide ini pun tercetus dari mulut Abbey, dia ingetin aku tentang janjiku sendiri, telepon penerbit itu untuk tanya kabar naskahku tepat hari ini, hari Senin. Sepercik rasa muncul dalam dada... Jantung berdenyut di luar kontrol.

Oke, aku tahu, ini saatnya. Aku pun pinjem bbnya Clara untuk buka Twitter, berhubung nomor telepon penerbit itu ada di sana. Internet lemot, lagi-lagi dada bergejolak, hingga akhirnya muncul rangkaian nomor itu di layar ponsel Clara, menandakan kalau aku harus segera... Mengalahkan ketakutan ini.

Aku: "Gila, aku takut banget! Oh, no!"
Mereka: "TELPON! TELPON! TELPON! Ayo Jess, ayo!"

Ini semua benar-benar gila.. Sebelum aku menekan tombol call pun, rasanya udah mau pingsan duluan. Gila banget. Banget. Aku pun perlahan-lahan, menekan tombol call itu, dan... Tuuutt... Nada sambung itu terdengar. Click! Dan aku pun, saking groginya, matiin sambungan telepon itu.

Aku: Aku matiin, huahahaha! Gila, aku takut banget. Beneran.
Mereka: Ayo, Jess! Kapan lagi?! Ayoooo!
Aku: Yeah...

Lagi. Kali ini, kutahan setengah mati hasratku untuk kembali mematikan sambungan telepon. Kala terdengar jawaban di seberang sana, aku langsung.. Nggak tahu apa yang harus aku lakuin, kecuali dengan super slow motion berhalo-halo ria. Kantin bising banget, jadi aku langsung lari keluar, dibuntuti sama Abbey, Clara, Fanie.

Manusia seberang sana: Oh, maaf, Mbak. Krunya lagi istirahat makan siang, telepon jam setengah dua nanti lagi aja ya...

GUBRAK. Rasa membuncah ini, dag-dig-dug setengah mati ini, terasa sia-sia. Tapi, entah mengapa, sebagian dari hati ini terasa lega... Barangkali, lega karena tak harus menatap kenyataan yang mungkin penuh pilu di ujung sana.

Hari di sekolah pun berakhir sampai situ, karena aku harus pulang. Abbey ikut aku, dan di sepanjang perjalanan dia terus ingetin aku dengan tiga kata itu: JAM SETENGAH DUA.

*

Setelah berkutat dengan jutaan angka bareng Ce Ribka (yes it is, aku les sampai galau setengah mati karena aku tahu UAS besok bakal menyiksan banget), aku pun melirik jam yang menunjukkan pukul setengah tiga tepat. Setelah mengantar Ce Ribka keluar, aku langsung ambil jurus Naruto dan melesat ke kamar.

Abbey: TELPON JESS, TELPON!

Jujur, tentu aja aku pengen banget tahu kabar naskahku.. Tapi di saat yang sama, rasa resah ini seakan membentengiku.

Untuk ketiga kalinya, aku memberanikan menekan tombol call itu, sementara Abbey ada di sampingku untuk mengabadikan momen itu lewat video. Tuuutt... Tuuutt... Tuuutt... Dan at the end, NO ANSWER. Yeah. Setelah itu aku coba lagi, dan operator bilang kalau nomor telepon yang aku hubungi SIBUK. Yeah kuadrat...

Abbey: Gila, Jess. Banyak banget halangannya. Hahaha.
Aku: Yeah. Gila! Gila banget. Aku sampe keringet dingin ini...
Abbey: AKU JUGA, TAUK! Aku juga takut, Jess.
Aku: Hah? Ngapain takut juga, coba?
Abbey: Aduh.. Aku pengen yang terbaik buat kamu, tahu.

Aku tercekat... Hahaha. Aku dan Abbey pun langsung menjelma jadi dua manusia unyu, ber-"uh, ah, oh" ria. Aku bisa lihat itu di matanya, tatapan yang benar-benar menyiratkan kalau kata yang barusan dilontarkannya itu memang benar.

Jantung ini berdegub tiga kali lebih cepat, dan aku kembali menekan tombol call. Kali ini terdengar nada sambung, dan... "Halo?" Nafasku berhenti. ketika kulirik, Abbey juga tak jauh berbeda denganku. Aku buru-buru memeluk boneka panda besarku, berusaha menekan segala kegugupan ini.

Aku: Oh, i-iya, Mbak. Mau tanya, ini bisa tanya perihal kabar naskah, ya?
Manusia di seberang sana: Oh, waktu itu kirimnya ke penerbit mana, ya?
Aku: GagasMedia.
Manusia di seberang sana: Oke, tunggu sebentar ya.

*Nada tulilulilut*, si manusia-di-seberang-sana lagi menyambungkan teleponnya ke seseorang, entah siapa. Aku dan Abbey hanya bertatapan, tertawa sebentar walau kami tahu tawa itu tak lebih dari sepenggal tawa gugup.

Dia di sana: Judul naskahnya apa ya, Bu? (Ya, dia memanggil aku dengan sebutan itu -_-)
Aku: Mélodie d'Amour, dari Jesslyn Chandra.
Dia di sana: Mélodie d'Amour... Jesslyn Chandra?
Aku: I-iya.

*dunia berhenti berputar sejenak*

Dia di sana: Oh iya, Bu. Naskahnya masih di redaksi, sedang diproses. Ditunggu sampai akhir bukan ini, ya, atau paling lambat awal bulan depan. Terima kasih.

...

Kalian mau tahu apa yang terjadi padaku kemudian?

Aku mematikan telepon dengan tangan gemetar, serempak memekik bersama Abbey, kami berpelukan, adikku datang, dan dia menyeletuk: Ini lesbi atau apa? Dan setelah itu, aku dan Abbey kembali melonjak, dan aku berjoget di depan cermin. Titik.

*

Aku tahu, aku mungkin termasuk manusia teraneh dengan spesies tergila. Belum tentu novelnya diterima juga, tapi girangnya udah kayak penyanyi dangdut dipanggil ke Amerika buat duet sama Justin Bieber..

But one thing for sure, this is me, aku yang sudah gembira dan bersyukur setengah mati dengan kenyataan bahwa naskahku masih ada di Gagas dan tengah diproses.

Setidaknya, aku tahu ketakutanku kalau naskah itu nggak sampai ke Gagas terbukti nggak beralasan.. Dan aku tahu juga, setidaknya semuanya menjadi lebih baik, karena naskah itu nggak dikembalikan dalam hitungan minggu karena terlalu jelek, seperti apa yang terjadi pada Setetes Embun Malam dulu.

Selepas dari rasa syok yang membekas sana-sini, aku pun mengirimkan pesan singkat buat Angel, Clara, Fanie, dan Abbey sendiri (yang yeah, masih ada di rumahku waktu itu).

"Aku uda telp gagas, katanya naskahhku masih ada di sana, diproses smpe akhr bulan ini! OMG OMG AT LEAST AKU TAU MSH ADA HARAPAN! Thx Jesus, THANK YOU KALIAN! :'D"

Dalam sekejap, balasan-balasan dari mereka semua muncul.

Clara: Wow! Keren jess! Semoga ditrima! :)

Fanie:
Smoga novelm dpt d publish. Amin. Ksh kt grtis y. Wkwkwk :p Gbu

Abbey:
I love you too jess! Keep the faith, and keep reaching ur dream! :)

Angel: Wkwk yoi!! Congrats ya ;) pastilah ad harapan!!!!!! Ciayo GBU!



Kalian tahu ga, rasanya aku bersyukur banget punya sahabat-sahabat kayak kalian.
Berasa jadi orang paling beruntung sedunia.. :p

Tanpa kalian, mungkin aku bahkan nggak pernah bisa sampai sini.
Aku tahu, impianku memang belum sepenuhnya tercapai.
Tapi kalian, kalianlah orangnya, yang mengajarkan aku untuk selalu berani bermimpi, selalu berharap, tetap optimis, dan terus maju pantang mundur. :D

Nggak kebayang apa jadinya tanpa kalian...

Angel, Fanie, Abbey, Clara..
THANKS A LOT.

Tanpa kalian, mungkin seorang Jesslyn nggak akan pernah sadar betapa berharganya hidup itu bila dijalani dengan suka-duka bersama sahabat-sahabat seperti kalian.. :)

I love you.
#nohomo.

Jumat, 11 Maret 2011

Revisi!

Oops.
Previous post: 10.03.11, maksudku. -_-

Kamis, 10 Maret 2011

10.03.10

Hari ini tanggal 10 Maret 2010.
Tepat tiga bulan yang lalu, aku baru saja menerbangkan impianku..

Mélodie d'Amour.

Mungkin kali ini aku tak punya banyak waktu untuk berbicara.
Namun satu hal yang pasti, hati ini kian berdesir kencang.
Gejolak itu, suatu hal yang abstrak, hingga kapan pun takkan mampu kuungkap lewat kata.

Jumat, 04 Maret 2011

The Journey

Pernah nggak, kalian merasa ingin sekali menggapai impian itu?
Ketika rasa menyeruak memenuhi dada, dan (awalnya) kamu seolah nggak ingin berhenti.

Tapi pernah juga nggak, kalian merasa.. Impian itu seperti jauh sekali.
Ketika kalian sudah mencoba berjalan sejauh mungkin, sampai sekujur tubuh ini terasa lemas, tapi pada akhirnya gagal juga.

...Aku pernah.

Aku ingat benar, ketika waktu itu impianku terhempas dalam hitungan minggu, terhitung setelah rasa percaya membuncah.
Tapi, saat itu, aku merasa.. Yah, mungkin aku masih punya waktu yang cukup, jadi aku bakal berusaha lagi.

Saat itu, masih tertumpu jelas benakku pada impian itu: menerbitkan buku sebelum lulus SMP.

Dan di sinilah aku, kembali memperjuangkan impian itu.
Ya, aku di sini, menunggu mimpi itu untuk membisikkan sesuatu padaku..

Begini. Seandainya kau mencoba meraih impian itu dan terhempas, tapi (setidaknya) masih ada waktu untuk kembali menapaki langkahmu, mungkin kau masih akan terus tersenyum dan maju...

Tapi, jika kali ini adalah harapan terakhir sebelum waktu habis menggerogotimu, apa yang akan kau rasakan?
Tidakkah rasa takut akan rasa terhempas itu akan jauh, jauh lebih besar dari sebelumnya?

...Itulah, itulah yang kurasakan.

Aku punya impian itu sejak 1-2 tahun yang lalu.
Dan seperti yang kubilang, segalanya mungkin akan jauh lebih mudah bila kau tahu kau masih mempunyai waktu.

Tapi... Jika seandainya tidak?

Waktu memang berjalan begitu cepat, menyisakan bulan-bulan terakhirku di bangku SMP yang terasa begitu singkat.
Dan naskah yang sedang aku kirim, masih entah bagaimana kabarnya.

Ya, aku, aku yang bodoh ini, cukup bisa menyentuh tahap galau to the max "hanya" dengan permasalahan di atas.

***

Ketika sedang dalam tahap segalau tadi, dengan ajaibnya, entah bagaimana, aku dapat satu link, video singkat dari perjalanan seorang Raditya Dika.

Perjalanan Mimpi Seorang Raditya Dika.

Setelah nonton video itu, jujur, aku hanya diam dalam bisu.
Rasa gelisah dalam hati ini seakan ingin kumuntahkan sepenuhnya.

***

Aku memang nggak sempurna.
Aku nggak bisa bohong juga, karena nyatanya, kegelisahan itu masih berbekas.

Tapi, satu hal yang aku tahu, Raditya Dika benar.. Jalan menuju impian kadang kasar, keras, dan nggak rata. Tapi selama kita tabah dan terus kerja keras, suatu saat nanti, impian itu akan menjadi kenyataan. :)

Buat siapa pun di dunia ini yang barangkali tengah mengalami hal yang sama seperti yang aku alami, aku cuma mau bilang, supaya kita sama-sama berjuang untuk menggapai impian itu. :D

Berjuang lebih baik, daripada...
Seperti aku: meratapi waktu, galau to the max untuk hal yang belum pasti, dan justru malah stuck dalam ketakutan itu.

Kalau seandainya impian itu memang kembali terhempas sedangkan waktu memang sudah habis, barangkali... Akan ada hasil berbeda yang lebih besar di ujung sana, yang menunggu kita untuk menangkapnya.

Karena seperti kata Raditya Dika, kesempatan itu seperti pintu, ada di mana-mana. Tapi satu hal, kita nggak boleh capek mengetuknya.

Yuk, berjuang untuk impian-impian itu?